Ilustrasi: Pixabay
Schoolmedia News, Jakarta - Lembaga kajian ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyarankan agar pemerintah menolak penilaian Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) yang menyebutkan Indonesia sebagai negara maju.
"Tolak saja, China yang negaranya besar saja menolak, kita jangan diam karena akan mempengaruhi ekspor," ujar ekonom senior Indef Aviliani dalam konferensi pers bertema "Salah Kaprah Status Negara Maju" di Jakarta, Kamis, 27 Februari 2020.
Menurut dia, penilaian itu musti dipertanyakan mengingat terdapat beberapa hal yang belum sesuai bagi Indonesia untuk masuk ke dalam kategori negara maju.
Baca juga: Tiru Rahasia Korsel Berinovasi, Menristek: Litbang Harus Jadi Kebutuhan Swasta
Salah satunya, lanjut dia, peran ekspor Indonesia bagi pertumbuhan ekonomi nasional relatif masih kecil.
"Peranan ekspor bagi lndonesia tidak signifikan bagi pertumbuhan ekonomi. Peranan ekspor terhadap PDB (produk domestik bruto) Indonesia baru mencapai kisaran 20-25 persen terhadap PDB," paparnya.
Ia menambahkan berbeda dengan negara lain seperti Vietnam yang peranan ekspornya mencapai 105 persen terhadap PDB.
Ia juga mempertanyakan salah satu indikator penilaian AS, yakni lndonesia dianggap sudah memiliki porsi ekspor lebih dari 0,5 persen di dunia serta keanggotaannya di G 20.
"Hal ini dibenarkan bahwa share ekspor Indonesia pada 2018 mencapai 0,9 persen terhadap total ekspor dunia, namun ini tidak cukup untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maju karena tidak didukung oleh indikator lain seperti pendapatan nasional bruto (Gross National Income/GNI) per kapita serta indikator kesejahteraan lainnya," katanya.
Baca juga: Bupati Manjakan Pemenang Sains Liburan ke Singapura
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pendapatan per kapita penduduk Indonesia pada 2017 sebesar Rp51,9 juta atau sekitar 3.877 dolar AS. Pada 2018 naik menjadi Rp56 juta atau 3.927,2 dolar AS. Dan pada 2019 naik lagi menjadi Rp59,1 juta atau 4.174,9 dolar AS.
Menurut Aviliani, negara maju memiliki GNI per kapita di atas 12.000 dolar AS per tahun. Dengan demikian, Indonesia masih belum layak untuk masuk sebagai negara maju.
Selain itu, lanjut dia, meski porsi ekspor lndonesia mencapai 0,9 persen dari ekspor dunia, namun peringkat ekspor Indonesia pada 2018 melorot ke posisi 29 dunia atau di bawah posisi Vietnam, Thailand dan Malaysia.
"Lebih dari itu, lndonesia merupakan anggota negara G 20 yang ekspornya paling kecil bersama Turki," ucapnya.
Baca juga: Pengguna Internet 200 Juta, Pakar Siber: Indonesia Menjadi Target Peretas Dunia
Dalam kesempatan sama, peneliti Indef Ahmad Heri Firdaus mengatakan keputusan Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) yang mengeluarkan Indonesia dari negara maju dapat membuat ekspor sejumlah produk dari Indonesia berpotensi terkena bea masuk anti subsidi.
"Perdagangan kita dengan AS surplus. Kalau kita dikenakan bea masuk anti subsidi maka jelas nilai ekspor kita ke AS dapat turun. Pedagang AS di sana juga tentu akan mencari supplier yang bisa menyediakan beban produksi yang kompetitif dari negara lain," katanya.
250 Karakter tersisa