Pesantren dan Perubahan Iklim

 

Schoolmedia News Jakarta ---- Pesantren perlahan-lahan telah bermetamorfosis dari lembaga pendidikan tradisional menuju lembaga pendidikan yang memiliki kepedulian terhadap lingkungan dan perubahan iklim. Dalam perubahan tersebut, mereka tidak heboh dengan capaian yang diraih, sekaligus menunjukkan bahwa rekognisi yang datang belakangan tidak mengubah arah perkembangan itu.

Dalam hal kepedulian terhadap lingkungan, pesantren telah memulai jauh hari sebelum entitas pendidikan Islam lain, katakanlah madrasah dan perguruan tinggi keagamaan Islam (PTKI). Jika madrasah mengikuti program Sekolah Adiwiyata (program sekolah peduli lingkungan hidup) yang dimulai pada 2013 dan PTKI mengikuti UI Greenmetric (pemeringkatan perguruan tinggi peduli lingkungan hidup) pada 2018, maka pesantren sudah memulai kampanye lingkungan hidup pada tahun 1970-an.

Pada saat itu, Pesantren An-Nuqayah di Madura, misalnya, mengenalkan apa yang mereka pahami sebagai reboisasi. Pesantren ini berhasil menaikkan muka air tanah di lahan gersang secara signifikan melalui penanaman pohon. Menariknya, kekuatan pendorong di balik hal ini adalah perlunya pembersihan rohani sebelum berdoa. Untuk mendapatkan air bersih yang cukup sebelum shalat lima waktu, kiai setempat bersama santri-santrinya terus-menerus menanam pohon agar dapat menyerap air hujan dengan lebih baik sehingga akhirnya terciptalah sebuah anak sungai.

Alasan di balik sikap tersebut bisa mudah dipahami, sebagaimana menggambarkan bahwa alasan utama di balik ”lingkungan hidup keagamaan” mungkin adalah kebutuhan spiritual dan bukan pertimbangan lingkungan hidup. Dimaklumi, di era tersebut belum nyaring terdengar persoalan problem lingkungan hidup dan terutama perubahan iklim.

Sejak beberapa dekade, problem lingkungan alam tidak menempati posisi penting dalam pemikiran Islam karena lebih kuatnya fokus pada isu-isu lain, seperti peperangan, radikalisme, terorisme, demokrasi, dan hak asasi manusia (Bagir & Martiam, 2016). Namun, tidak berarti pandangan tentang lingkungan dan perubahan iklim menghilang di tingkat global dan lokal.

Data survei menunjukkan bahwa mayoritas umat Islam memandang perubahan iklim sebagai tantangan sosial yang penting. Sebuah studi yang dilakukan oleh Skirbekk dan Pędziwiatr (Skirbekk & Pędziwiatr, 2018) memberikan gambaran umum mengenai survei-survei tersebut.

Survei ini dilakukan pada 2018 terhadap 150 pemimpin Muslim dari Afrika Utara, Timur Tengah, Uni Eropa, Amerika Serikat, Asia, dan kawasan pasca-Soviet. Dari para pemimpin Muslim yang diwawancarai, 48 persen menyatakan bahwa perubahan iklim telah memberikan dampak buruk yang signifikan terhadap masyarakat, sementara 32 persen responden percaya bahwa dampak buruk akan terjadi dalam 10-25  tahun mendatang.

Produksi minyak yang besar di Timur Tengah dan penggundulan hutan di Indonesia, Mali, Nigeria, dan beberapa negara lain serta kebiasaan konsumsi karbon yang intensif (misalnya penggunaan mobil, AC) menunjukkan potensi mitigasi yang kuat di negara-negara mayoritas Muslim (Fachruddin Mangunjaya dkk, 2015). Untuk menanggapi tantangan-tantangan ini, pemerintah di negara-negara mayoritas Muslim telah menandatangani perjanjian internasional dan beberapa di antaranya sudah mulai menerapkan strategi ekonomi hijau.

Hal ini bisa dilihat dari setidaknya setelah sejarah panjang skeptisisme dan hambatan terhadap perubahan iklim dalam perundingan iklim PBB, Arab Saudi telah mulai melakukan diversifikasi perekonomiannya yang bergantung kepada minyak dan berupaya untuk mempromosikan teknologi transportasi rendah karbon. Uni Emirat Arab sedang melaksanakan proyek pembangunan perkotaan perintis di kota Masdar, Abu Dhabi, yang berupaya mengembangkan kota netral karbon.

Selain itu, kesepahaman Muslim global terlihat dengan diselenggarakannya International Islamic Climate Change Symposium (IICCS) di Doha pada 2015. Simposium ini menghasilkan beberapa rekomendasi strategis dalam pengelolaan lingkungan dan perubahan iklim.

Meski demikian, simposium ini kurang mendapat perhatian media dan dampaknya masih belum jelas. Usaha untuk merekonstruksinya dicoba oleh Indonesia dengan menggelar beberapa agenda internasional, semisal halakah fikih peradaban, tetapi tidak dengan pembahasan tentang perubahan iklim secara mendalam.

Pesantren Ramah Lingkungan

Berdasarkan contoh-contoh berikut, Indonesia digambarkan sebagai negara pionir dan teladan dalam gerakan lingkungan hidup umat Islam (Jamil, 2021). Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dicitrakan sebagai pihak yang memiliki kepedulian tersendiri kepada lingkungan dan perubahan iklim.

Melalui pesantren, NU memulai kepedulian ini. Ustaz dan pimpinan pesantren (kiai) biasanya mempunyai otoritas yang kuat di kalangan masyarakat setempat. Mengingat pengaruh lokalnya, pesantren dan pemerintah telah melakukan upaya untuk menjadikan pesantren sebagai tempat pelatihan lingkungan hidup yang disebut sebagai ”pesantren ramah lingkungan”.

Lebih dari itu, pesantren juga telah melakukan langkah-langkah strategis untuk mitigasi perubahan iklim. Hal ini termasuk kegiatan reboisasi yang menimbulkan keterikatan emosional dengan alam. Pesantren ramah lingkungan telah menerapkan gagasan program hima (zona pengelolaan lingkungan) dan harim (tempat suci yang tidak dapat diganggu gugat) dan menetapkan zona di mana setiap santri harus merawat pohonnya sendiri.

Pengajaran di pesantren ini persis menggabungkan pengetahuan praktis (misalnya pelatihan pertanian) dengan Islam (misalnya keterangan Al Quran tentang pohon) sehingga membuat masyarakat setempat enggan melakukan praktik yang membahayakan lingkungan, seperti membakar sampah dan menebang pohon. Beberapa dari pesantren ramah lingkungan ini telah memenangi penghargaan lingkungan hidup nasional dan dianggap sebagai pelopor teladan transformasi menuju masyarakat yang lebih ramah lingkungan dewasa ini. Mereka menerima Kalpataru untuk berbagai kategori pelestarian lingkungan hidup.

Selain reboisasi, NU berupaya memberikan alternatif selain penebangan hutan guna menghasilkan pendapatan bagi masyarakat lokal. Untuk mencapai tujuan ini, mereka telah mempromosikan peternakan hewan dan penanaman buah atau sayuran serta menawarkan pelatihan pertanian.

Adapun Muhammadiyah telah memulai program mitigasi internal untuk mengelola sumber daya dalam organisasinya dengan cara yang lebih ramah lingkungan. Untuk mencapai tujuan ini, Muhammadiyah telah mendesak rumah sakit, sekolah, dan universitas mereka untuk mengurangi konsumsi energi dan air.

Di luar kontribusi NU dan Muhammadiyah, MUI juga memainkan peran pentingnya. Lewat jejaring yang dimilikinya, MUI mengeluarkan fatwa yang menyatakan penebangan dan pertambangan yang membahayakan lingkungan hidup sebagai tindakan haram. Berpangku kepada fikih lingkungan, fikih bi’ah, keputusan MUI mengacu pada hukum Islam. Keputusan-keputusan ini merupakan orientasi etis bagi perilaku umat Islam dan sering kali diwujudkan dalam bentuk fatwa.

Sayangnya, pengakuan terhadap peran pesantren di bidang lingkungan hidup kurang terasa sehingga ini berpengaruh terhadap persepsi publik tentang Islam di Indonesia dalam kaitannya dengan lingkungan hidup dan perubahan iklim. Pesantren telah jauh hari berkutat dengan lingkungan hidup dan terbiasa dengan berbagai pengembangan kelembagaan terkait. Peran penting pesantren dan kesediaan mereka untuk kerja-kerja lingkungan hidup tertutup oleh kebutuhan untuk mendapatkan rekognisi dan afirmasi sebagaimana didapatkan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren.

Sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam terbesar di dunia, Indonesia pantas dipertimbangkan menjadi barometer kesadaran umat dalam mengelola lingkungan hidup dan perubahan iklim. Pesantren telah menunjukkan kepemimpinan dalam ranah tersebut melalui berbagai praktik baik yang ditunjukkan.

Berbagai komponen bangsa ini mampu menjadi pelopor pada pokok persoalan lingkungan dan perubahan iklim. Sementara itu, inisiatif penting ini harus terus disuarakan dengan lantang. Problem lingkungan dan perubahan iklim sudah seperti ”alarm senyatanya” yang menggedor pintu kesadaran kita bersama. Oleh karena itu, suara yang datang dari pesantren sangat dibutuhkan untuk mengamplifikasi kesadaran bersama.

Saiful Maarif (Asesor SDM Aparatur Kementerian Agama)

Artikel ini telah terbit di Kompas.id 9/1/2023 dengan judul yang sama

 

Komentar

250 Karakter tersisa