Roy, Foto: Yenny Hardiyanti/SM
"Saya pikir-pikir, kalau semua orang yang bagus keluar negeri, yang membangun Indonesia enggak ada lho."
Anggapan bahwa orang pintar pasti memilih luar negeri untuk berkarya, sepertinya akan mudah terpatahkan saat kita mengenal sosok Roy. Kontribusi pria berusia 35 tahun di dunia animasi, ia buktikan dalam keikutsertaannya memproduksi berbagai film animasi baik dalam maupun luar negeri.
Salah satunya, "Batlle of Surabaya" produksi MSV Pictures tahun 2017. Film ini berlatar sejarah perjuangan bangsa Indonesia pada saat perang 10 November 1945 di Surabaya. Film ini dinobatkan sebagai film animasi terbaik di Milan International Filmmaker Festival 2017. Bahkan, Walt Disney Pictures tertarik dan membantu pendistribusiannya secara global.
Di film bergengsi itu, ada kehadiran Roy di balik layar. Ia bertanggung jawab di bagian teknis, riset dan pengembangan. Ia juga mengembangkan jaringan dan menciptakan peralatan pendukung bagi seluruh tim, serta menemukan metode terbaik untuk menghasilkan solusi dalam produksi. Tak hanya itu. Di tahun yang sama dan masih di bagian teknis, ia dipercaya terlibat dalam film Banda the Dark Forgotten Trail besutan sutradara Jay Subiyakto, dan masih banyak produk-produk animasi lainnya.
Kini, ia lebih memilih untuk menyiapkan anak muda Indonesia mengambil peluang karier di dunia animasi yang sangat terbuka lebar. Ia kini memegang nahkoda (CEO) SMK Raden Umar Said (RUS), Kudus, Jawa Tengah.
Suka Gambar
Awal pertemuan Roy dengan dunia animasi ia mulai dari kegemarannya menggambar. Apalagi sejak usia TK, kedua orangtuanya kerap menyuguhi tontonan film-film produksi Disney. Kala itu, ia tertarik dengan film dua dimensi berjudul Lion King dan Aladdin.
"Saya dari kecil suka gambar, dari usia TK. Waktu itu saya lebih banyak nonton film Disney, masih 2D. Dari situ saya punya impian, kalau saya besar, saya bisa bikin ini," ujar Roy kepada News SchoolMedia di kawasan Pondok Cabe, Tangerang Selatan, Banten, beberapa waktu lalu.
Ketertarikan dan rasa penasaran Roy pada film animasi seakan tergugah ketika ia menyaksikan film Toy Story 1 saat ia masih duduk di bangku kelas 1 SMP. Ia kagum karena film tersebut membawa suasana berbeda dari film-film keluaran Disney yang pernah ia tonton.
"Saya lihat Toy Story, kok beda ya sama Aladdin, Lion King, dari segi looks-nya, ini sesuatu yang baru. Saya punya visi, saya harus bisa bikin animasi, meski saat itu saya enggak tahu teknologinya," ujar Roy sambil tertawa. Saat itu, ia masih tinggal di Timor Timur.
Keinginannya semakin mengenal dekat dunia animasi terbawa saat ia duduk di bangku SMA di Surabaya. Pilihan hidup sepertinya harus ia putuskan di usia ini. Saat itu ia harus berhadapan dengan tentangan dari kedua orang tuanya yang lebih ingin anaknya memilih jalur profesi dokter atau pilot. Ia pun tak menyerah. Ia terus mencari jawaban atas keingintahuannya dalam pembuatan film animasi. Ia pun mulai belajar teknologi 3D secara otodidak. Berbekal CD software 3D Max 3 yang ia dapatkan di sebuah mal, ia tekun mempelajari animasi sederhana, dan ia berhasil membuat bola bergerak.
"Bikin bola jalan aja saya udah seneng, saya panggil orang tua saya untuk liat apa yang sudah saya buat," ujar Roy mengenang.
Antusiasme dan tekad untuk mempelajari animasi, ia lanjutkan dengan pilihan program studi di jenjang pendidikan beirkutnya. Ia memilih Program Pendidikan Komunikasi Arsitektur Interior, Petra, Surabaya. Ketika itu, ia berpikir akan banyak belajar tentang 3 dimensi. Tak puas, ia pun memberanikan diri terjun ke dunia videografi pernikahan. ia menciptakan hal baru, yakni membuat bentuk pesawat dalam versi 3D. Selepas kuliah, ia memutuskan hijrah ke Negeri Kangguru dan belajar otodidak di sana.
"Di sana, saya bertemu dengan orang-orang di beberapa studio, mereka menyaranka saya banyak hal, saya harus belajar di forum animasi," kata Roy. Ia pun bergabung di komunitas IndoCG dan juga CG Society. Dari forum maya itu, ia banyak mendapat kritikan, feedback, bertukar ilmu, dan saling belajar.
Berkarya di Indonesia
Tahun 2009 seakan menjadi titik balik kehidupan Roy untuk masuk ke dunia animasi yang sesungguhnya di Tanah Air. Di tahun itu, ia mendapat informasi kalau industri animasi di Indonesia sudah mulai maju. Ia pun kemudian menyanggupi tantangan tersebut dan bekerja di Studio Infinite, Batam. Di tempat ini, Roy seakan diasah. Ia menjalani karier awalnya sebagai junior render, modelling, coding, hingga ke bagian teknis, dan ke bagian sistem perusahaan.
"Ketika itu saya lihat, wah ini dunia saya. Saya bisa ketemu banyak orang yang sevisi dan saya banyak belajar dari teman-teman saya. Di sana, saya belajar dengan Pak Danil, saya belajar tentang teknis dan manajemen teknis yang baik," ujar Roy.
Dalam meraih impiannya, Roy, memegang prinsip working hard, working fast, working smart.
"Working hard, kamu enggak akan bisa sukses tanpa kerja keras. Selain bekerja keras, kamu juga harus bekerja cepat, dan juga bekerja pintar," ujar Roy.
Ia kemudian mendapat tawaran untuk mengerjakan proyek dari Brazil, Amerika Serikat, Perancis, dan Meksiko. Bersama dengan Ricky Linton, temannya, ia membangun sistem agar ia bisa berkolaborasi dengan tim lain di beberapa negara.
"Impian saya ingin keluar negeri, tapi saya pikir-pikir, kalau semua orang yang bagus keluar negeri, yang membangun Indonesia itu enggak ada lho," ujar Roy.
Terjun di Dunia Pendidikan
Berbekal pengalaman mengerjakan proyek-proyek dari dalam dan luar negeri, membuat Roy mengambil langkah besar. Ia kini memilih untuk berkontribusi di dunia pendidikan. Mulai tahun ini, ia dipercaya menjadi CEO di SMK Raden Umar Said (RUS), Kudus, Jawa Tengah, sebelumnya, ia menjabat sebagai CTO (Chief Technologi Officer) di SMK ini.
"Saya sekarang sedang mengembangkan studio RUS Animation, sehingga, (RUS) nggak hanya (terkenal) di lokal, tapi juga internasional tahu RUS Studio," ujar Roy.
Roy menjelaskan, SMK Raden Umar Said merupakan sekolah kejuruan yang berkonsentrasi di bidang animasi dan menyiapkan tenaga-tenaga ahli untuk menjawab tantangan dan kebutuhan industri. Ia mengatakan, di sekolah ini, siswa diajarkan banyak hal, mulai dari ilustrasi, map painting, story board, produksi animasi, hingga pembuatan game. Bahkan, untuk mendukung kegiatan belajar mengajar, sekolah ini, kata Roy, menyediakan ragam fasilitas berskala internasional.
"Fasilitas di RUS lengkap, sudah sesuai dengan standar industri animasi, mulai dari segi spek komputernya, infrastrukturnya sudah bagus. Teman-teman dari luar negeri ketika datang ke RUS pernah bilang, tempat saya di luar enggak kayak gini," ujar Roy bangga.
Ia percaya, dengan penyediaan fasilitas lengkap seperti yang tersedia di SMK RUS, akan membantu siswa memiliki kompetensi yang baik untuk langsung terjun ke industri begitu selepas lulus dari sekolah ini.
Peluang Besar di Industri Animasi
Menurut Roy, dunia animasi Indonesia terus bergerak dan berkembang. Munculnya film-film animasi menandakan kualitas anak muda Indonesia sudah sejajar dengan negara lain. Maraknya tv series yang menampilkan tayangan animasi, menjadi bukti bahwa besarnya peluang berkarier di animasi bagi anak muda Indonesia.
"Di Indonesia, selama ini banyak di TV series, kita outsource proyek dari luar dan studio-studio di Indonesia yang mengerjakan untuk tayang di luar. Ini menunjukkan industri animasi di Indonesia sudah mulai maju," ujar Roy.
Ia mencontohkan, film Kiko, Homeland dari Yogyakarta, Batlle of Surabaya, Lily the Little Hopes dari SMKN 1 Ciomas Bogor, dan juga film Nusa, menjadi bukti langkah awal yang baik bagi Indonesia berkecimpung di dunia animasi.
"Peluangnya itu besar banget, ketika kita lihat, demand-nya itu enggak seimbang. Secara data, kebutuhan animator itu 80% sedangkan dari kita, yang bisa kita sumbangkan hanya 20%," ujar Roy.
Namun, ia tak menutup mata bahwa hingga saat ini, kualitas animasi Indonesia perlu ditopang dengan modal yang besar, agar dapat lebih bersaing dengan produk-produk internasional dan berkualitas baik.
"Yang menyulitkan kita di kualitas itu modal. Kalau perusahaannya punya modal besar, pasti kualitasnya bagus," ujar Roy.
Terkait dengan sumber daya manusia, Roy mengakui bahwa Indonesia memerlukan wadah atau instansi untuk semakin mengasah bakat-bakat anak muda agar dapat menunjukkan karyanya ke masyarakat yang lebih luas.
"Teman saya di studio pernah bilang, lulusan SMK itu banyak, tapi yang bagus itu sedikit sekali. Nah, ini yang harus kita benahi. Semoga ketika masuk industri, RUS bisa memberikan yang terbaik untuk kebutuhan studio-stuio dan bisa menjadi panutan bagi SMK-SMK lainnya, meski memang ada beberapa SMK yang sudah mulai bagus," ujar Roy.
Ia berharap, agar dunia animasi di Indonesia dapat bergerak maju dengan terbangunnya kolaborasi antar komunitas dalam menghasilkan karya. Sebab, ia tak menampik, bahwa modal menjadi daya utama untuk membuat film animasi. Ia mencontohkan, untuk film Frozen, memerlukan biaya sekitar 1 Juta USD hanya untuk 1 detik.
"Animasi itu luas, mereka harus bisa berkolaborasi, banyak departemen yang harus bekerja sama dan berkolaborasi ke depannya, seperti yang diharapkan Pak Jokowi, Industri 4.0 ada Colaboration, Communication, dan Creative. Itu sangat nyata dibutuhkan di dunia animasi," ujarnya.
Namun, ia tetap optimistis, bahwa ke depan, akan semakin banyak karya-karya animasi terbaik hasil karya tangan-tangan anak muda Indonesia.
Tinggalkan Komentar