Cari

Sosok

Mahasiswi UGM Fadhiela dan Chaieydha Kembangkan La Helist untuk Terangi Blora

Fadhiela Noer Hafiezha (20) dan Chaieydha Noer Hafiezha (23), Foto: ugm.ac.id

 

Dua mahasiswi Universitas Gadjah Mada yakni Fadhiela Noer Hafiezha (20) dan Chaieydha Noer Hafiezha (23) berhasil mengembangkan inovasi lampu darurat hemat energi dan ramah lingkungan. Kakak beradik asal Kabupaten Blora, Jawa Tengah ini memberikan solusi nyata bagi masyarakat Blora.

"Lampu darurat ini awal mulanya kami kembangkan sebagai pengganti lilin bagi masyarakat Blora karena di sana sering mengalami pemadaman listrik pada malam hari," kata Fadhiela di Kampus UGM, Yogyakarta, Jumat, 2 Februari 2019.

Mereka menamai produk inovasinya "La Helist" (Lampu Hemat Listrik). Hingga saat ini, Fadhiela Noer Hafiezha) masih tercatat sebagai mahasiswi jurusan Teknik Mesin sedangkan kakaknya, Chaieydha Noer Hafiezha adalah mahasiswi pascasarjana Fakultas Pertanian.

Menurut Fadhiela, mayoritas masyarakat desa di Blora masih menggunakan lilin saat listrik padam. Apabila tidak hati-hati, penggunaan lilin bisa berujung pada kebakaran yang membahayakan masyarakat. 

"Penggunaan lilin berpotensi terjadi kebakaran saat ditinggal tidur. Untuk itulah kami mengembangkan lampu darurat ini," kata Fadhiela.

Fadhiela melanjutkan, lampu "La Helist" ia kembangkan bersama kakaknya sejak awal 2017. Sekitar Agustus 2017, lampu tersebut sudah mulai diproduksi dalam jumlah besar.

Lampu tersebut, kata Fadhiela, mampu menyala hingga 12 jam lebih hanya dengan menggunakan baterai tipe AA 1,5 volt. Baterai ini biasa dipakai untuk baterai jam dinding. 

Daya menyala lampu itu, menurut Fadhiela mampu lebih lama dibanding lampu lainnya karena menggunakan trafo ferit dengan konvigurasi lilitan yang tepat.

"Lampu ini juga ramah lingkungan. Trafo ferit yang kami gunakan memanfaatkan trafo ferit dari limbah-limbah lampu yang sudah tidak terpakai," kata Fadhiela menjelaskan.

Keduanya mengembangkan lampu dengan daya 3 watt dan 9 watt. Desain lampu tersebut juga minimalis dan lengkap dengan saklar sehingga dapat dibawa dan dihidupkan kapan saja di berbagai tempat tanpa bergantung aliran listrik dari PLN.

"Lampu itu memang kami desain simpel dan praktis tidak perlu memakai 'charge', tetapi cukup menggunakan baterai sebagai pengganti lilin," kata Fadhiela.

Chaieydha menyebutkan hingga 2019, pihaknya sudah memproduksi lampu tersebut secara massal hingga mencapai 8.000 unit. Wilayah pemasarannya juga sudah meluas ke berbagai wilayah di Indonesia. 

Harga lampu darurat itu keduanya banderol Rp 50.000 per unit untuk lampu berdaya 3 watt, sedangkan untuk lampu 9 watt harganya Rp 90.000 per unit.

Saat ini, aktivitas produksi lampu yang mereka kembangkan telah memberikan peluang kerja bagi warga sekitar kediaman mereka di Blora. 

"Sekarang sudah ada tiga karyawan. Mereka adalah tetangga saya. Dalam sehari kami mampu menghasilkan 15 sampai 20 lampu," kata Chaieydha menjelaskan.

Meski tidak memiliki keterkaitan dengan bidang studi yang mereka geluti di UGM, menurut Chaieydha, pengembangan lampu itu bisa konsisten dilakukan karena keduanya memiliki kedekatan dengan dunia elektronika sejak kecil.

"Bapak saya merupakan guru otomotif SMK di Blora, tetapi menyukai elektronika. Sejak kecil saya sering melihat dan diajari bapak saya mengutak-atik barang-barang elektronik," kata Chaieydha bangga.

Tokoh Selanjutnya
Roy, Bentuk Animator Muda Indonesia Melalui Pendidikan
Tokoh Sebelumnya
Mahasiswi UGM Fadhiela dan Chaieydha Kembangkan La Helist untuk Terangi Blora

Tokoh Lainnya:

Comments ()

Tinggalkan Komentar