Ilustrasi kebutuhan ekonomi, Foto: Pixabay
Staf Pokja Reformasi Kebijakan Publik Koalisi Perempuan Indonesia Lia Anggiasih berpendapat faktor ekonomi menjadi salah satu alasan utama perkawinan anak terjadi di Indonesia. Lia mengatakan banyak masyarakat masih berpandangan bahwa beban finansial keluarga akan berkurang jika menikahkan anak lebih cepat.
"Padahal adanya pernikahan itu malah bisa membuat beban orang tua semakin berat," kata Lia, pada konferensi pers di Cikini, Jakarta, Selasa, 24 Juli 2019.
Ia mencontohkan banyak anak yang putus sekolah setelah menikah, sehingga kesulitan mencari mata pencaharian. Ketiadaan pekerjaan itu kemudian mengharuskan orangtua ikut membantu menafkahi anak mereka.
"Belum lagi beban psikologis. Anak yang harusnya masih bermain dan belajar malah sudah harus mengurus anak, menyiapkan makanan, dan bekerja. Dalam kasus ini, anak bisa depresi dan alami gangguan kesehatan," kata Lia.
Baca juga: Tanggulangi Perkawinan Anak, Kemenag Gelar Temu Konsultasi
Sekretaris Koalisi Perempuan Indonesia Cabang Kabupaten Bogor Mega Puspitasari menambahkan kurangnya waktu orang tua untuk berkumpul bersama anak, juga jadi penyebab terjadinya pernikahan dini.
"Kebanyakan kasus perkawinan anak di Kabupaten Bogor diawali karena anak perempuan hamil di luar nikah. Setelah kami dalami, ternyata itu karena orang tua harus bekerja, dan kurang waktunya untuk mengawasi anak mereka," ujar Mega.
Selain ekonomi, faktor budaya, agama, serta hukum, kata Mega, juga memiliki peran bagi keberlangsungan pernikahan anak.
"Ada juga paradigma di masyarakat kita soal ketakutan menjadi perawan tua, sehingga baru 17 tahun kemudian sudah dinikahkan. Alasan seperti itu yang mulai sekarang harus dihilangkan," kata Mega.
Baca juga: Cegah Perkawinan Anak, KPPPA Gelar Rapat Koordinasi
Data Kementerian Agama Provinsi Jawa Barat menunjukkan sebanyak 3.710 pernikahan anak rentang usia 16 hingga 19 tahun berlangsung di Kabupaten Bogor pada 2018. Kabupaten Bogor saat ini juga masuk dalam daftar daerah darurat perkawinan anak.
Sementara itu, Badan Pusat Statistik mencatat pernikahan anak tertinggi pada 2018 terjadi di Kalimantan Selatan (22,77 persen), Jawa Barat (20,93 persen), dan Jawa Timur (20,73 persen).*
Tinggalkan Komentar