BNPB jadi sahabat tangguh Indonesia selama 13 tahun, terlihat bahu membahu bersama semua lapisan masyarakat dalam penanganan bencana alam di Kabupaten Majene. /Twitter.com/@BNPB_Indonesia/
Schoolmedia News, Jakarta - Indonesia diketahui memiliki beragam potensi bencana. Namun harus diakui, negara yang berada di lingkaran cincin api pasifik (ring of fire) ini belum memiliki ketangguhan dalam menghadapi setiap bencana. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (disingkat BNPB) adalah sebuah Lembaga Pemerintah Nonkementerian yang mempunyai tugas membantu Presiden Republik Indonesia dalam melakukan penanggulangan bencana sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. BNPB dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008 yang kemudian diganti dengan Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2019. Tahun ini, BNPB genap berusia 13 tahun.
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengatakan bahwa sejatinya Indonesia ditakdirkan sebagai bangsa yang besar. Akan tetapi kehebatan dan ketangguhan itu harus dikumpulkan dari waktu ke waktu, termasuk dalam upaya penanggulangan bencana.
"Sampai sekarang menurut saya kita juga belum memiliki catatan-catatan sejarah yang cukup memadai tentang bagaimana nenek moyang kita dulu menghadapi, menanggulangi bencana di Indonesia. Kecuali beberapa bentuk peninggalan berupa kearifan lokal, mulai dari bangunan maupun tata cara hidup yang menggambarkan bagaimana dulu nenek moyang kita merespon bencana di tempatnya masing-masing," ujarnya usai menutup kegiatan Rakornas Penanggulangan Bencana Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di Jakarta.
Padahal, menurut Muhadjir, cepat atau lambat, Indonesia pasti akan selalu dihadapkan pada kemungkinan terjadinya bencana. Hal itu pun tidak bisa diatasi dengan cepat tanpa belajar dari pengalaman dalam menanggungi bencana.
Ia pun menyarankan kepada BNPB untuk segera menginisiasi pendokumentasian bahkan hingga merekonstruksi sejarah nenek moyang masyarakat Indonesia, khususnya dalam merespon dan menangani bencana di Tanah Air.
"Supaya cepat maka kita harus betul-betul mampu mendokumentasikan pengalaman, merekonstruksi apa yang pernah terjadi dan menjadikannya bahan kajian untuk lebih siap menghadapi bencana," ucapnya.
Bagaimanapun, ungkap Muhadjir, bencana adalah bagian dari hidup manusia. Yang perlu dilakukan ialah menyikapinya secara positif sehingga masyarakat dan juga bangsa Indonesia bisa menjadi bangsa yang tangguh.
"Jadi pesan saya, kita sudah waktunya untuk mendokumentasi dengan baik. 13 tahun kiprah dari BNPB dan BPBD ini harus mampu menghasilkan karya yang besar. Menjadikan monumen sekaligus untuk cerminan agar nanti anak cucu kita tahu bagaimana kita merespon, bagaimana kita menghadapi bencana," tandasnya.
Di samping itu, Menko PMK juga mendorong revisi Undang-Undang Kebencanaan dan UU Karantina Kesehatan. Ia menilai UU tersebut sudah tidak relevan, terutama dengan kejadian bencana wabah akibat Covid-19.
"Memang UU-nya tidak nyambung dengan peristiwa terakhir Covid-19. Karena itu saya sangat mendukung ada yang namanya pembenahan UU Kebencanaan. Segera melakukan revisi UU Kebencanaan termasuk merevisi UU Kekarantinaan," tuturnya.
Ia pun menjelaskan, baik di dalam UU Kebencanaan maupun UU Karantina Kesehatan tidak secara eksplisit menggambarkan tentang adanya bencana Covid-19. UU Karantina Kesehatan lebih banyak berisi tentang karantina kesehatan yang berkaitan dengan penyakit yang berasal dari hewan.
Baca Juga : Mahasiswa Pendidikan Tinggi Agama Islam Diimbau Tidak Terobsesi Jadi Politisi
Sejarah Kelembagaan
Pemerintah Indonesia membentuk Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP). Badan yang didirikan pada 20 Agustus 1945 ini berfokus pada kondisi situasi perang pasca kemerdekaan Indonesia. Badan ini bertugas untuk menolong para korban perang dan keluarga korban semasa perang kemerdekaan.
Pemerintah membentuk Badan Pertimbangan Penanggulangan Bencana Alam Pusat (BP2BAP) melalui Keputusan Presiden Nomor 256 Tahun 1966. Penanggung jawab untuk lembaga ini adalah Menteri Sosial. Aktivitas BP2BAP berperan pada penanggulangan tanggap darurat dan bantuan korban bencana. Melalui keputusan ini, paradigma penanggulangan bencana berkembang tidak hanya berfokus pada bencana yang disebabkan manusia tetapi juga bencana alam.
Frekuensi kejadian bencana alam terus meningkat. Penanganan bencana secara serius dan terkoordinasi sangat dibutuhkan. Oleh karena itu, pada tahun 1967 Presidium Kabinet mengeluarkan Keputusan Nomor 14/U/KEP/I/1967 yang bertujuan untuk membentuk Tim Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Alam (TKP2BA).
Selanjutnya TKP2BA ditingkatkan menjadi Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Alam (Bakornas PBA) yang diketuai oleh Menkokesra dan dibentuk dengan Keputusan Presiden Nomor 28 tahun 1979. Aktivitas manajemen bencana mencakup pada tahap pencegahan, penanganan darurat, dan rehabilitasi. Sebagai penjabaran operasional dari Keputusan Presiden tersebut, Menteri Dalam Negeri dengan instruksi Nomor 27 tahun 1979 membentuk Satuan Koordinasi Pelaksanaan Penanggulangan Bencana Alam (Satkorlak PBA) untuk setiap provinsi.
Bencana tidak hanya disebabkan karena alam tetapi juga non alam serta sosial. Bencana non alam seperti kecelakaan transportasi, kegagalan teknologi, dan konflik sosial mewarnai pemikiran penanggulangan bencana pada periode ini. Hal tersebut yang melatarbelakangi penyempurnaan Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Alam menjadi Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (Bakornas PB). Melalui Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1990, lingkup tugas dari Bakornas PB diperluas dan tidak hanya berfokus pada bencana alam tetapi juga non alam dan sosial.
Hal ini ditegaskan kembali dengan Keputusan Presiden Nomor 106 Tahun 1999. Penanggulangan bencana memerlukan penanganan lintas sektor, lintas pelaku, dan lintas disiplin yang terkoordinasi.
Indonesia mengalami krisis multidimensi sebelum periode ini. Bencana sosial yang terjadi di beberapa tempat kemudian memunculkan permasalahan baru. Permasalahan tersebut membutuhkan penanganan khusus karena terkait dengan pengungsian. Oleh karena itu, Bakornas PB kemudian dikembangkan menjadi Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (Bakornas PBP). Kebijakan tersebut tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 2001 yang kemudian diperbaharui dengan Keputusan Presiden Nomor 111 Tahun 2001.
Tragedi gempa bumi dan tsunami yang melanda Aceh dan sekitarnya pada tahun 2004 telah mendorong perhatian serius Pemerintah Indonesia dan dunia internasional dalam manajemen penanggulangan bencana. Menindaklanjuti situasi saat iu, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2005 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana (Bakornas PB). Badan ini memiliki fungsi koordinasi yang didukung oleh pelaksana harian sebagai unsur pelaksana penanggulanagn bencana. Sejalan dengan itu, pendekatan paradigma pengurangan resiko bencana menjadi perhatian utama.
Dalam merespon sistem penanggulangan bencana saat itu, Pemerintah Indonesia sangat serius membangun legalisasi, lembaga, maupun budgeting. Setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana, pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). BNPB terdiri atas kepala, unsur pengarah penanggulangan bencana, dan unsur pelaksana penanggulangan bencana. BNPB memiliki fungsi pengkoordinasian pelaksanaan kegiataan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, dan menyeluruh.
Penulis : Eko Schoolmedia
Editor : Burhan Schoolmedia
250 Karakter tersisa