Posisi Indonesia dalam Sengketa Laut China Selatan, Ini Kata Pakar 

Sumber: Newsweek

 

Schoolmedia News, Yogyakarta - Laut menjadi sumber kehidupan bangsa kita. Utamanya, untuk lautan yang menjadi batas maritim antar negara. Batas maritim suatu negara berpotensi menimbulkan konflik jika belum jelas. Hal tersebut mengemuka dalam Bincang Kelautan yang digelar oleh Pusat Studi Sumber Daya dan Teknologi (Pustek) UGM. 

Prof. Ir. Panut Mulyono, M.Eng. D.Eng., IPU., ASEAN Eng., Rektor UGM, menyatakan tema bertajuk Memahami Sengketa Laut China Selatan: Perspektif Hukum Internasional dan Geopolitik Kawasan sangat penting, mengingat laut memang menjadi sumber kehidupan bangsa kita. Utamanya, ia menyebut untuk lautan yang menjadi batas maritim antar negara.

“Batas maritim suatu negara berpotensi menimbulkan konflik jika belum jelas. Hal itu karena hukum internasional dan geopolitik kawasan yang melingkupinya dianut secara berbeda bagi masing-masing negara,” ujar Panut seperti dilansir dari laman UGM, Minggu, 19 Juli 2020. 

 

Baca juga: 305 Judul Penelitian Terima Dana Rp 242 Miliar

 

Prof. Ir. Panut Mulyono, M.Eng. D.Eng., IPU., ASEAN Eng., Rektor UGM, dalam sambutannya menyatakan tema ini menjadi penting untuk dibahas mengingat laut memang menjadi sumber kehidupan bangsa kita. Utamanya, ia menyebut untuk lautan yang menjadi batas maritim antar negara.

“Batas maritim suatu negara berpotensi menimbulkan konflik jika belum jelas. Hal itu karena hukum internasional dan geopolitik kawasan yang melingkupinya dianut secara berbeda bagi masing-masing negara,” terangnya.

Terkait hal ini, H.E. Arif Havas Oegroseno, Dubes Indonesia untuk Republik Federasi Jerman membenarkan pendapat Panut. Menurut Havas, untuk kasus Laut China Selatan ada 6 negara yang memperebutkannya, yakni Brunei, China, Malaysia, Filipina, Taiwan RRC, dan Vietnam.  Hal ini, kata Havas, menjadikannya sebagai sengketa kedaulatan yang melibatkan lebih dari dua pihak. 

“Masing-masing pihak mengajukan masing-masing klaimnya terhadap kedaulatan di Laut China Selatan,” ungkapnya.

 

Baca juga: Ditjen Dikti Siapkan Uji Kompetensi Nasional untuk Tenaga Kesehatan

 

Indonesia, kata Havas, selama ini tidak mengajukan klaim. Selama ini, menurutnya, Indonesia menghormati hukum laut internasional dan hanya menegaskan rule of law. 

“Sejak dahulu kita telah mengajukan berbagai dasar hukum ke PBB terkait batas-batas kedaulatan maritim negara kita dan kala itupun China tidak mengajukan protes sama sekali,” ungkapnya.

Akan tetapi pada tahun 2009, China memublikasikan peta 9-dashed-line melalui Nota Diplomatik China ke PBB. Empat negara, yakni Indonesia, Malaysia, Vietnam, dan Filipina mengajukan protes melalui Nota Diplomatik ke PBB.

Nota Diplomatik yang diajukan Indonesia berisi penegasan Indonesia bukan negara pihak dalam sengketa Laut China Selatan. Lalu, pulau, batuan, karang di Spratly tidak memiliki ZEE atau landas kontinen. Terakhir, penolakan 9-dashed-line. Havas menyebut posisi Indonesia, seperti yang telah dirinya sebut sebelumnya, yakni hanya menegaskan rule of law dalam hubungan Internasional.

Lebih lanjut ia menjelaskan, dinamika semakin memburuk karena kekuatan ekonomi China yang semakin besar yang menyebabkan terjadinya rivalitas dengan AS. Dengan hal itu, Havas menyebut peluang untuk menyelesaikan sengeketa Laut China Selatan semakin sulit, terlebih karena melibatkan lebih dari dua negara.

 

Baca juga: Siswa SD, Yuk Ikut Lomba Online Berhadiah Total Rp 50 Juta

 

Dalam kondisi ini, Havas menyarankan daripada memaksakan diri untuk penyelesaian sengketa lebih baik mengubah strategi menjadi pengelolaan sengketa. 

“Penyelesaian menjadi tidak mungkin karena kedua pihak saling tumpang tindih klaimnya. Pengelolaan sengketa lebih mudah dicapai terlebih untuk menghindari konflik antara AS-China yang tengah dalam strategic rivalry,” ujarnya.

Terakhir, Havas menyebutkan dengan mengusung pengelolaan sengketa, kebijkan pembangunan 5 pilar di Natuna dapat terus dilakukan. Selain itu, dalam strategic rivalry US-China, Indonesia tidak perlu memilih kubu dan tetap bisa berkerja sama dengan keduanya dalam perdagangan. 

“Bahkan Indonesia bisa menjadi peace facilitator antara kedua kubu melalui trilateral strategic dialogue,” pungkasnya.

Komentar

250 Karakter tersisa