Foto: i-scoop.eu
Banyak para pembicara seminar kita yang hanya tahu sedikit mengenai industri 4.0. Itu karena umumnya mereka tidak memiliki pengalaman di sana. Lalu, agar terlihat sophisticated pemikirannya, mereka mulai mengutip pendapat dari Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe di Davos baru-baru ini tentang Society 5.0. Mereka menganggap Society 5.0 sama dengan Revolusi Industri 5.0.
Biasanya, mereka yang tidak berpengalaman dengan industri 4.0 akan berkata, "Kalau kita masih sibuk dengan Industri 4.0 maka tengoklah ke Jepang yang telah menyiapkan 5.0!"
Terkait dengan ini, mengapa saya mengatakan bahwa mereka umumnya tidak berpengalaman? Karena, menurut saya, pengalaman dengan Industri 4.0 biasanya didapat jika memang mereka pernah berkecimpung dalam minimal 1 full life cycle transformasi dari industri klasik ke Industri 4.0. Terlalu sulit mendapatkan pengalaman itu jika kita hanya berkecimpungan pada industri dalam negeri saja. Karena, Indonesia saja baru mau mengarah ke Industri 4.0.
5.0 Itu Isu Sosial-Politik
Menanggapi simpang siur terkait Revolusi Industri 5.0 dan Society 5.0, saya memaknainya begini, bahwa jelas konsep yang salah jika ada yang menggunakan label 5.0 sebagai tema teknologi. Bahkan sebenarnya, pelabelan 5.0 itu tidak tepat.
Menurut saya, 5.0 itu lebih mengarah kepada isu sosial-politik dan tidak ada wujud teknologinya melainkan lebih kepada slogan policy (kebijakan) politik Jepang, karena mereka mempunyai masalah dengan demografinya. Sekali lagi, 5.0 bukan tema teknologi. Tidak ada lompatan teknologi dari slogan 5.0 kecuali tema-tema terkait sosial masyarakat. Jadi, penyebutan 5.0 sesungguhnya jauh dari akurat jika dikaitkan dengan teknologi.
Sementara pada Industri 4.0 itu wujudnya nyata. Realisasi Industri 4.0 bisa kita temukan dalam Big Data, UX, IoT, Cloud, Ai, Blockchain, dan sebagainya.
Jepang sepertinya "sengaja" berbuat salah dengan membuat judul saat memakai label 5.0, meskipun mereka cukup cerdas "mengelak" dan menggunakan nama Industry 5.0 tapi Society. Parahnya para pembicara seminar di Indonesia yang hanya tahu sedikit, memaknainya seakan itu adalah loncatan teknologi 5.0. Jadi, 5.0 itu sesungguhnya dimunculkan oleh para ilmuwan "antikemapan" atas Industri 4.0.
Untuk memahaminya begini, ini sama dengan Industry 1.0 yang kala itu ditemukan oleh James Watt. Ia menemukannya saat membuat teknologi mesin uap. Dari penemuan itu muncullah sebutan Kapitalis Industri. Nah, Kapitalis Industri itu bukan menjelma menjadi 2.0 tapi itu adalah bagian dari konsekuensi sosial yang terjadi karena ditemukannya mesin uap.
Tetapi, 5.0 tidak menemukan revolusi industri apa-apa. Ini berbeda dengan Industri 4.0 yang diawali dengan Big Data. Terminalogi 5.0 itu adalah respon dari 4.0. Sehingga, untuk kita pahami lagi bahwa 5.0 itu bukan lompatan teknologi, itu lebih pada isu sosial. Kita bisa sangat gamblang mengutarakan revolusi Industri itu terkait dengan teknologi.
Tahapan Revolusi Industri
1.0 ditemukan teknologi mesin uap sehingga mesin mulai bekerja untuk produksi
2.0. ditemukan alat komunikasi yaitu telepon dan telegrap, alat pembangkit listrik untuk produksi massal dan diwujudkan juga dalam bentuk transportasi massal kereta api. Transportasi ini membelah benua Amerika.
3.0 ditemukan teknologi kolaborasi internet
4.0 ditemukan teknologi Big Data dan juga pengembangan teknologi pelengkapnya seperti Cloud, Internet of Things, Unix User, Block Chain, Artificial Intelligence
Sedangkan 5.0 itu bukan basis ditemukannya revolusi teknologi, tetapi hanya untuk menjadi antitesis dari 4.0. Bagi saya, teknologi 4.0 itu konkrit dan riil, sekali lagi, terkait isu-isu tentang Big Data, Cloud, Internet of Things, User Unix , Block Chain, Artificial Intelligence. Itu semua bukan dari hasil pemikiran industri dan akademisi Jepang, melainkan dari para teknolog dan akademis Barat.
Nah, jika muncul persoalan sosial dimana nanti "mesin" akan mengabaikan manusia, maka ini adalah soal sosial yang harus disikapi oleh bangsa kita juga. Tapi persoalan sosial ini bukan revolusi industri 5.0 melainkan bicara tentang keseimbangan manusia atas ditemukannya Big Data yang memicu 4.0.
Industri 4.0 Belum Terlewati
Untuk juga dipahami bersama, bahwa Industri 4.0 baru berjalan dan belum terlewati. Dampaknya serta manfaatnya itu baru akan kita rasakan mungkin sekitar 5-10 tahun lagi.
Tapi yang paling terasa saat ini seperti Amazon. Seperti kita ketahui, aset Amazon jauh lebih besar dari APBN kita. Bayangkan sebuah perusahaan tanpa produksi apapun kecuali hanya bermain dengan dengan teknologi 4.0 dan bahkan dapat membangun bisnis yang meraksasa. Nah, model Business Process Design seperti ini mampu menjadi gurita dan melahap semuanya.
Selain itu, dalam kasus realitas kita, bukankan Go Car dengan Business Process, efisiennya sudah melahap taksi konvensional?
Bisa dibayangkan jika memang Industri 4.0 itu benar-benar mewabah dimana-mana. Pola-pola industri akan benar-benar berubah. Ini bisa amat berbahaya jika industri dalam negeri tidak siap.
Lantas bagaimana dengan situasi kita saat ini? Kita tidak bisa ikut-ikutan dengan menggunakan cara berpikir Jepang. Kita harus memahami peta pertarungan teknologi yang begitu dinamik sehingga kita memiliki navigasi yang jelas.
Jika isu 4.0 itu adalah Cloud, Internet of Things, Unix User, Block Chain, Artificial Intelligence, mari kita jawab pertanyaan-pertanyaan ini:
1. Seberapa kita sanggup berinvestasi di teknologi terkait Industri 4.0?
- Apakah kita invest dalam membangun Big Data?
- Apakah kita invest dalam kembangkan teknologi AI (Artifcial Intellegnece)?
- Apakah kita invest di IoT (Internet of Things)?
- Apakah kita juga invest dalam teknologi mobile hardward device atau software user unix?
- Apakah kita invest dalam teknologi Additive Manufacture?
2. Universitas mana di Indonesia yang mampu mendidik SDM seperti itu? Jika tidak ada universitas di Indonesia yang siap mendidik SDM ke arah sana, berarti kita benar-benar nol.
3. Berapa banyak pakar dan profesor-profesor kita yang ahli dalam bidang-bidang terkait Industri 4.0 ini? Apakah para PTN top papan atas kita memang punya jurusan, pusat studi, serta program studi yang memang kuat di sini?
4. Apakah kita punya Center of Excellent semacam Silicon Valey sebagai tempat para talent kita bersinergi dan mengembangkan sendiri Industry 4.0 sehingga bukan cuma sekadar mengonsumsi teknologi luar?
5. Dimana tempat berkumpulnya para talent Industri 4.0 Indonesia? Di Silicon Valey mana? Di Industrial dan Science Park mana para talent kita berada? Jika kita tidak punya tempat kumpul para talent ini maka kita tidak memiliki talent-nya.
6. Adakah industri-industri kita benar ada yang mempunyai pengalaman melakukan "full life cycle" dari sebuah proses transformasi dari industri klasik ke industri 4.0 sehingga bisa jadi role model?
Nah, pasti kita punya gambaran tentang situasi dari jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut. Jika jawaban kita adalah tidak berinvestasi dengan sungguh-sungguh dan secara pintar untuk menggunakan White Paper yang benar, berarti kita tidak siap.
Maka, saat ini kita harus memfokuskan diri untuk menguasai 4.0. Big Data, UX, AI, Cloud, Block Chain, IoT. Itu semua adalah teknologi-teknologi pembunuh yang berbahaya. Jika para para perusahaan multinasional asing berhasil sepenuhnya bertransformasi menjadi Industry 4.0, maka habislah industri-industri kita saat mereka mengakuisisi atau terlikuidasi karena terpredator oleh mereka.
#dariTepianLembahSungaiElbe
Oleh:
Ferizal Ramli
Ekspatriat, SAP Management Consultant berdomisili di Hamburg
Tinggalkan Komentar