Salah satu kegiatan di acara Festival Lima Gunung XIII, Foto: http://komunitaslimagunung.blogspot.com/
Para seniman petani Komunitas Lima Gunung meresmikan Museum Lima Gunung di Studio Mendut Kabupaten Magelang, Jateng. Museum ini menyimpan berbagai koleksi perjalanan mereka mengelola aktivitas berkesenian, menghidupi tradisi, dan berkebudayaan desa selama sedikitnya 17 tahun terakhir.
Kemarin, peresmian Museum Lima Gunung di studio terbuka dihadiri sejumlah kalangan, terutama seniman, budayawan, pemerhati sosial, penulis, akademisi dari Magelang dan luar daerah itu. Studio ini dikelola oleh budayawan Magelang Sutanto Mendut.
Berbagai koleksi di museum itu, antara lain patung, topeng, wayang, lukisan, sejumlah kostum tarian, gamelan, alat musik, buku, foto, kliping pemberitaan berbagai media massa tentang aktivitas seni, tradisi, dan sosial budaya Komunitas Lima Gunung selama ini.
"Ini museum hidup yang akan terus dihidupi oleh komunitas. Museum ini menyimpan nilai hidup (Komunitas, red.) Lima Gunung. Kehidupan kami tidak sekadar seni," ujar Sutanto Mendut yang juga pemimpin tertinggi Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Kabupaten Magelang itu, Selasa, 5 Februari 2019.
Peresmian museum juga bertepatan dengan HUT Ke-65 Sutanto Mendut dan perayaan Tahun Baru Imlek 2570/2019. Selain berbasis para seniman petani di kawasan lima gunung yang mengelilingi Kabupaten Magelang, anggota Komunitas Lima Gunung juga berasal dari berbagai latar belakang kehidupan, baik yang tinggal di Magelang maupun luar daerah itu.
Pada kesempatan tersebut, beberapa tokoh Komunitas Lima Gunung secara bergantian menyampaikan testimoni terkait dengan museum tersebut dan perjalanan komunitasnya selama ini, antara lain Supadi Haryanto, Riyadi, Sitras Anjilin, Sujono Keron, Ismanto, Sarwo Edi, Sih Agung Prasetyo, dan Sujono Bandongan.
Sutanto mengatakan, museum itu bukan hanya mengoleksi hal yang bersifat material, barang mahal, atau berusia tua, akan tetapi juga menyimpan tentang cara berpikir dan nilai kehidupan komunitas itu.
"Memori acara jam empat subuh (peresmian Museum Lima Gunung, red.), kelak juga museum tentang 'memorable' (patut menjadi kenangan). Semoga ini memberi inspirasi dan memperkaya makna hidup," ujar Sutanto.
Terkait dengan peresmian museum ini, Ketua Komunitas Lima Gunung Supadi Haryanto mengatakan bahwa Museum Lima Gunung juga menjadi tempat berkumpulnya berbagai nilai atas pengalaman komunitas dalam menjalani gerakan bersenian, menjaga dan mengkreasi tradisi budaya, serta aktivitas sosial kemasyarakatan lainnya selama ini.
"Kami wujudkan menjadi museum. Di Lima Gunung ini tempat berkumpul berbagai kalangan dari mana pun dan apa saja, menyalurkan energi budaya dan inspirasi," ujar Supadi.
Pemerhati budaya Haryadi S.N. juga mengatakan, Museum Lima Gunung merekam berbagai aktivitas yang dijalani komunitasnya.
"Museum ini menggambarkan kesadaran mental dan sejarah komunitasnya. Semoga museum ini merekatkan kerinduan masyarakat Nusantara untuk memeriahkan kerayaan Indonesia yang dahsyat ini," katanya.
Selain itu, pemerhati budaya Toto Rahardjo, menjelaskan, kalau suatu museum harus dibangun berpatokan pada kriteria tertentu, dikhawatirkan tidak akan melahirkan museum kerakyatan yang independen.
"Museum ini diharapkan tetap teguh, tanpa kriteria tertentu. Kalau harus terpaku kriteria maka tidak akan ada museum kebudayaan rakyat," ucap Toto.
Tinggalkan Komentar