Schoolmedia News Jakarta ---- Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) bekerjasama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menyelenggarakan Forum Tematik Bakohumas dalam rangka sosialisasi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga pada pembukaan forum menegaskan bahwa sosialisasi secara massif dan terus menerus harus dilakukan agar semakin banyak aparat penegak hukum dapat memberlakukannya pada setiap kasus kekerasan seksual.
“Perlu proses yang panjang sampai akhirnya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual ini bisa disahkan pada 12 April 2022 dan pada akhirnya resmi menjadi Undang-Undang pada 9 Mei 2022. Kami tidak ingin perjuangan panjang ini tidak berkelanjutan, sehingga harus bisa diimplementasikan di lapangan. UU TPKS ini sudah bisa diberlakukan sejak diundangkan yaitu sejak 9 Mei 2022. Hal ini sesuai dengan pasal 93 dalam UU TPKS. Produk peraturan perundang-undangan turunan sudah berjalan pada tahap harmonisasi dan kami terus kebut hingga akhir tahun ini. UU TPKS ini luar biasa karena dalam satu kasus kekerasan seksual, keterangan saksi dan/atau Korban cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah jika disertai dengan satu alat bukti sah lainnya. UU TPKS hadir ini sebagai bukti Negara serius melindungi para korban kekerasan seksual, khususnya kelompok rentan yaitu perempuan dan anak-anak. Undang-Undang Lex Spesialis ini mencakup upaya pencegahan, penanganan, rehabilitasi dan pemberdayaan,” tegas Menteri PPPA pada Selasa (8/8) di Jakarta.
Forum Bakohumas menurut Menteri PPPA memiliki peran penting dan strategis untuk menyampaikan ke publik hal-hal yang terkait UU TPKS agar lebih banyak masyarakat paham manfaat UU TPKS.
“Kami butuh dukungan para humas Kementerian/Lembaga, Humas pemerintah daerah dan dunia usaha agar diseminasi informasi UU TPKS semakin meluas. Dengan semakin masifnya kampanye UU TPKS maka diharapkan akan semakin banyak korban berani melapor. Bukan hanya korban saja tetapi masyarakat yang melihat tindak kekerasan seksual juga berani melapor. Kami berterimakasih karena semakin banyak masyarakat yang paham bahwa kasus kekerasan seksual bukan lagi aib,” ujar Menteri PPPA.
AKBP Rita Wulandari Wibowo, Kasubbagsumda Setpusinafis Bareskrim Polri yang hadir selaku narasumber menyatakan UU TPKS menjawab berbagai hak korban baik dari penanganan hingga pemulihan.
“UU TPKS menyebutkan tentang penguatan pelaksanaan one stop service untuk penanganan korban sehingga setiap tim yang meliputi aparat penegak hukum juga harus gerak cepat melindungi korban dan menghindari reviktimisasi korban atau menajdi korban berulang. Selain itu hal yang menarik dalam UU TPKS adalah restitusi diwajibkan dikenakan oleh hakim bersamaan dengan hukuman pidana. Penyidik wajib memberitahukan adanya restitusi kepada korban dan selanjutnya menginfokan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Apapun harta yang dimiliki oleh pelaku maka asset itulah yang bisa diperhitungkan dalam restitusi. Dalam TPKS juga tidak mengenal kata damai atau restorative justice,” ujar Rita.
Sementara itu, Erni Mustikasari, Jaksa Ahli Madya pada JAM Pidum Kejaksaan Agung mengungkapkan UU TPKS ini memberikan panduan untuk para jaksa agar lebih berhati-hati saat melakukan penyusunan surat dakwaan pada korban tindak pidana kekerasan seksual.
“Sangat penting bagi jaksa penuntut umum untuk menyusun surat dakwaan sedapat mungkin menghindari uraian yang terlalu detail, vulgar dan berlebihan dalam surat dakwaan. Tidak boleh menyerang privasi dan harkat martabat dari korban sehingga jaksa penuntut harus cermat memahami korban. Kami juga ada kewajiban merahasiakan identitas, namanya kita samarkan inisial. Ini yang masih sulit dipahami pihak media karena menginginkan kami untuk menyebutkan nama lengkap korban, dan itu tidak mungkin,” ungkap Erni.
Hadir pula sebagai narasumber adalah Nirwana, Ketua Pengadilan Tinggi Sulawesi Barat. Nirwana memberikan apresiasi atas UU TPKS yang rinci menempatkan korban untuk bisa mendapatkan hak-nya.
“UU TPKS begitu rinci untuk memastikan korban mendapatkan hak mereka. Korban memiliki hak untuk mendapatkan pendampingan, hak mendapatkan restitusi, hak dirahasiakan identitasnya, hak atas pemulihan, hak bebas dari pertanyaan yang menjerat, hak memberikan keterangan tanpa tekanan dan hak perlindungan hukum lainnya. Dalam UU TPKS juga diatur tentang prosedur dalam masa persidangan serta larangan bagi hakim seperti pernyataan latar belakang seksualitas sebagai dasar untuk meringankan hukuman bagi pelaku,” ucap Nirwana.
Dari sisi pemberitaan media, Usman Kansong, Dirjen Informatika dan Komunikasi Publik Kominfo menyatakan media antusias memberitakan UU TPKS sekaligus sebagai bahan edukasi untuk media.
“Dalam banyak hal masih banyak media yang memberitakan kasus-kasus kekerasan seksual tidak memperhatikan sisi korban, masih ada pelanggaran etika dalam memberitakan kasus kekerasan seksual, masih banyak media yang menyebutkan identitas korban, menayangkan wajah korban, rumah korban dan tindakan non-etis lainnya. Hal ini menjadi edukasi juga ke media untuk lebih melihat sisi korban dan empati. Kami apresiasi dengan UU TPKS karena menjamin hak korban,” ujar Usman Kansong.
Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual melahirkan beberapa terobosan hukum yaitu (1) Pengualifikasian jenis Tindak Pidana Kekerasan Seksual, beserta tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya, (2) Pengaturan hukum acara yang komprehensif, mulai tahap penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dengan tetap memperhatikan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, kehormatan, dan tanpa intimidasi, (3) Pengakuan dan jaminan Hak Korban atas Penanganan, Pelindungan, dan Pemulihan, sejak terjadinya Tindak Pidana Kekerasan Seksual, yang merupakan kewajiban negara dan dilaksanakan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan Korban, (4) Perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku Anak. Perhatian yang besar terhadap penderitaan Korban juga diwujudkan dalam bentuk pemberian Restitusi. Restitusi diberikan oleh pelaku Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagai ganti kerugian bagi Korban. Jika harta kekayaan terpidana yang disita tidak mencukupi biaya Restitusi, negara memberikan kompensasi kepada Korban sesuai dengan putusan pengadilan
Tim Schoolmedia
Tinggalkan Komentar