Surati DPR, Jokowi Minta Revisi Batas Minimal Menikah Jadi 19 Tahun

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Yambise foto: humaskemenPPPA

SCHOOLMEDIA NEWS, Jakarta -  Presiden Joko Widodo menyurati DPR untuk segera merevisi UU Perkawinan terkait batas minimal menikah jadi 19 tahun. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Yambise berharap DPR periode sekarang segera merevisi sebelum habis periode pada 30 September 2019.

 

Baca juga: 71 Desa di Pulau Taliabu Akan Punya Rumah Baca

 

Surat Presiden Nomor R-39/Pres/09/2019 tanggal 6 September 2019 hal Rancangan Undang – Undang tentang Perubahan atas Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (RUU), Naskah RUU, dan Naskah Akademik RUU kepada DPR RI.

"Akhirnya kami mendapatkan surat Presiden tanggal 6 September 2019 tentang Rancangan UU tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan adanya surat presiden ini, maka mendorong kami, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk menyampaikan kepada para media, termasuk kepada masyarakat, juga kepada pihak DPR sehingga mendorong DPR secepatnya mensahkan revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974,", ujar Menteri Yohana pada siaran pers yang diterima redaksi Senin, 9 September 2019.

Dalam surat tersebut, Presiden RI menugaskan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Menteri Agama, Menteri Kesehatan, Menteri Hukuman dan Hak Asasi Manusia untuk bersama – sama maupun sendiri – sendiri untuk mewakili Presiden dalam membahas Rancangan Undang – Undang tentang Perubahan atas Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (RUU) dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).

Indonesia menempati posisi ke - 2 di ASEAN dan ke - 7 di dunia sebagai negara dengan angka perkawinan anak paling tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2018, 1 dari 9 perempuan usia 20-24 tahun (11%) menikah pada usia anak. Perkawinan anak pada ujungnya akan menghambat Indeks Pembangunan Manusia (IPM).

“Saat ini, Indonesia berada dalam kondisi Darurat Perkawinan Anak. Perkawinan anak merupakan pelanggaran atas pemenuhan hak anak, perlindungan khusus anak, dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Perkawinan anak dapat menghambat wajib belajar 12 tahun (pemenuhan hak anak atas pendidikan), gizi buruk pada anak yang dilahirkan dari seorang anak yang rahimnya masih rentan (kesehatan dan angka kematian ibu melahirkan), stunting, serta munculnya pekerja anak dan upah rendah (pemiskinan secara struktural). Keseluruhan dampak tersebut menghambat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan juga capaian Sustainable Development Goals/SDGs target 5.3,” kata Menteri Yohana.

 

Baca juga: Sistem Pendidikan Terpadu Lahirkan Generasi Berkarakter

 

Menteri Yohana juga menegskan bahwa Pemerintah sepakat bahwa batas usia perkawinan bagi perempuan adalah 19 tahun dan mengajak para awak media untuk ikut mendorong agar revisi Undang – Undang Perkawinan segera disahkan.

“Pemerintah secara tegas sepakat dan berharap bahwa revisi Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang batas usia perkawinan bagi perempuan menjadi 19 tahun karena didasarkan pada Pasal 1 Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Pengadilan Agama juga akan punya legitimasi dalam menetapkan dispensasi bagi perkawinan. Kami juga mengapresiasi dan mengajak para awak media agar ikut melakukan sosialisasi dan mendorong DPR RI agar segera mengesahkan revisi Undang - Undang Perkawinan menjadi undang – undang,” ujar Menteri Yohana.

Baca juga: STIKIP PGRI Ponorogo Gagas Anugerah Ronggowarsito Hadiah Utama 100 Juta

Kemen PPPA telah melakukan beberapa upaya demi menekan angka perkawinan anak. Pada 2016-2018, Kemen PPPA bersama 18 Kementerian/Lembaga terkait dan 65 Lembaga Masyarakat menyusun Kebijakan PERPPU yang mendorong usia minimum perkawinan. Kemen PPPA juga menyusun Kebijakan Nasional Pencegahan Perkawinan Anak, Rencana Aksi Nasional tentang Pencegahan Perkawinan Anak, membentuk Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA), dan melakukan Gerakan Bersama Kampanye Pencegahan Perkawinan Anak di 11 Provinsi.
 

Komentar

250 Karakter tersisa