Cari

Kemenko PMK Gelar “Rapat Koordinasi Pembahasan Legalitas Perkawinan"

 

Schoolmedia News Jakarta --- Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda Kemenko PMK Woro Srihastuti Sulistyaningrum mengatakan, masih ditemukan kasus perkawinan yang tidak tercatat oleh negara. Kasus tersebut disebabkan karena banyaknya perkawinan di bawah tangan (siri) pada usia anak dan remaja.

Hal itu disampaikan saat membuka “Rapat Koordinasi Pembahasan Legalitas Perkawinan” yang diselenggarakan oleh Kedeputian Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda di Ruang Rapat Lt. 13 Kemenko PMK, pada Rabu (16/8).

Lisa menambahkan, persoalan ini harus diperhatikan dengan serius oleh pihak-pihak terkait agar yang bersangkutan dan anak yang dilahirkan dapat terpenuhi hak-haknya sebagai warga negara. 

“Ditemuinya banyak pernikahan anak dan siri terjadi karena dianggap untuk menghindari perzinahan, atau poligami. Ini fenomena yang masih sering ditemui dan perlu dipikirkan mekanisme pendataannya agar hak anak terlindungi,” ujar Lisa.

Sementara itu, Australia Indonesia Partnership for Justice  menyatakan terdapat 400.000 kasus anak dan remaja menikah setiap tahunnya di Indonesia dan hanya 65.000 kasus dispensasi kawin yang diajukan ke pengadilan. Hal ini menandakan bahwa masih terdapat lebih dari 330.000 perkawinan anak dan remaja setiap tahunnya yang tidak dapat dicatatkan oleh Kantor Urusan Agama atau Pencatatan Sipil karena tidak melalui pengadilan.

Sebelumnya, sejak adanya revisi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yang mengatur pendewasaan usia perkawinan, kasus dispensasi kawin melonjak drastis dari 23.386 di tahun 2019 menjadi 64.487 pada tahun 2020. Namun begitu, terdapat tren penurunan dari tahun 2020 hingga 2022. Melalui data kasus tersebut, diketahui dalam rentang waktu 2018-2022, kasus perkawinan anak lebih banyak menyasar pada pihak perempuan.

“Ini karena belum optimalnya layanan bagi anak yang terlanjur atau terpaksa dinikahkan, termasuk diantaranya sistem data dan informasi baik di level kementerian atau lembaga maupun di desa,” ujarnya.

Lisa menyampaikan, terdapat sejumlah dampak negatif dari perkawinan yang tidak tercatat, antara lain ketidakpastian hukum, hak dan perlindungan yang terbatas, status anak yang tidak terlindungi, diskriminasi dan stigma sosial, hingga kerentanan terhadap tindak pidana penipuan, dan sebagainya. 

Asisten Deputi Ketahanan dan Kesejahteraan Keluarga Mustikorini Indrijatiningrum saat memandu jalannya diskusi juga menyampaikan, rapat koordinasi ini diharapkan dapat mengidentifikasi permasalahan dan hambatan dalam pencatatan perkawinan, serta menjaring masukan sebagai upaya untuk mengintegrasikan sistem informasi perkawinan.

Selain itu, Indri menambahkan bahwa pihaknya berupaya merumuskan rekomendasi solusi penyelesaian terhadap permasalahan legalitas perkawinan dan merumuskan strategi yang ideal untuk meningkatan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya pencatatan pernikahan, baik dari sisi hukum, ekonomi, sosial dan sebagainya.

“Masukan dan saran akan dikoordinasikan dan segera ditindaklanjuti. Mengingat ini masalah yang serius dan berlarut-larut terjadi di tengah masyarakat,” kata Indri.

Rapat koordinasi dihadiri oleh sejumlah perwakilan dari kementerian dan lembaga terkait, antara lain Ditjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Direktur Pembinaan Administrasi Peradilian Agama Mahkamah Agung, Direktur Bina Urusan Agama dan Keluarga Sakinah, serta Direktur Bina Utusan Agama Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha dari Kementerian Agama, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan BKKBN.

Tim Schoolmedia

Berita Selanjutnya
Pelajar Indonesia Raih Lima Medali Dalam Olimpiade Astronomi Dunia
Berita Sebelumnya
Terjadi 400.000 Kasus Anak dan Remaja Menikah Setiap Tahunnya di Indonesia

Berita Lainnya:

Comments ()

Tinggalkan Komentar