Cari

Guru

Dosen UGM Teliti Penyebab Penderita Kaki Gajah

Penderita Kaki Gajah di Indonesia Meningkat

Dosen Fakultas Biologi UGM Rr. Upiek Ngesti Wibawaning Astuti. Foto: ugm.ac.id


SCHOOLMEDIA NEWS, Yogyakarta - Penderita kaki gajah atau filariasis di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun, bahkan saat ini terdapat lebih dari 14 ribu penderita kaki gajah di tanah air.

Penyakit kaki gajah ini ditularkan oleh nyamuk yang terinfeksi cacing Wuchereria brancofti.  Nyamuk Culex quinquefasciatus Say merupakan salah satu vektor penular kaki gajah.

Dosen Fakultas Biologi UGM Rr. Upiek Ngesti Wibawaning Astuti menyebutkan penyakit kaki gajah ini hampir dapat dijumpai di semua wilayah Indonesia. Setidaknya terdapat 28 provinsi yang menjadi endemis kaki gajah.

Baca juga:  Mahasiswa UGM Menguak Keragaman Pisang Liar di Sulawesi

“Jumlah penderitanya juga terus meningkat, data per Oktober 2018 tercatat lebih dari 14 ribu penderita kaki gajah di Indonesia,” ungkapnya saat memaparkan hasil penelitian disertasinya terkait eko-biologis nyamuk culex vektor kaki gajah, Selasa (15/10) di Fakultas Biologi UGM.

Dalam penelitiannya itu Upiek melakukan kajian tentang distribusi, perilaku, ekologi, keragaman genetik dan profil protein nyamuk Cx. quinquefasciatus di daerah endemis filariasis. Kota dan kabupaten Pekalongan serta Kota dan kabupaten Semarang, Jawa Tengah dipilih sebagai daerah penelitian karena menjadi daerah endemis tinggi kaki gajah.

Penelitian dilakukan denggan mengkoleksi nyamuk di daerah sampling dengan metode landing biting. Dari uji Kruskal Wallis di 4 lokasi sampling diketahui habitat tempat perindukan nyamuk Cx. quinquefasciatus di Kota dan Kabupaten Pekalongan, serta Kota dan Kabupaten Semarang cenderung menunjukkan persamaan meskipun di wilayah yang berbeda.

Baca juga: Dosen Keperawatan UB Raih Nominee SATU Indonesia Award 2019

Di ke-4 lokasi tersebut dapat ditemukan nyamuk Cx. quinquefasciatus dengan  aktivitas biting dan resting yang berbeda baik periode waktu maupun jumlah individunya.

“Parameter lingkungan yang terukur, suhu, kelembaban udara dan kecepatan angin berpengaruh nyata terhadap aktivitasnya,” ungkap Upiek, melansir ugm.ac.id.

Pada pemeriksaan parasitologis nyamuk menunjukkan hasil negatif terhadap W. bancrofti.  Sejumlah 945 karakter genetik telah teridentifikasi dari ke 4 lokasi koleksi, namun dengan similaritas yang rendah (<20%).

Sementara dari tempat perindukan nyamuk Cx. quinquefasciatus di keempat lokasi kajian secara ekologis menunjukkan persamaan dan nyamuk menunjukkan variasi genetik yang tinggi dengan polimorfisme mencapai 100%.

Keberadaan molekul protein cecropin, defensin dan transferin mengindikasikan adanya respon biologis nyamuk terhadap infeksi cacing W. bancrofti.

“Ini kemungkinan bisa menjadi indikator keberhasilan program pengobatan masal,” pungkas Upiek.

Tokoh Selanjutnya
Tim UGM Juara Fushion Innovative Contest 2019
Tokoh Sebelumnya
Mahasiswa UGM Menguak Keragaman Pisang Liar di Sulawesi

Tokoh Lainnya:

Comments ()

Tinggalkan Komentar