Beberapa tahun terakhir ini, literasi menjadi salah satu topik yang "digalakkan" di sekolah. Satu hal yang sebenarnya terasa agak paradoksal, karena literasi sudah menjadi keniscayaan dalam siklus kehidupan sekolah. Namun jika melihat situasi dan kondisi pendidikan Indonesia, nampaknya hal tersebut bukanlah satu hal yang aneh dan berlebihan, karena perwujudan sebuah komunitas sekolah yang "literate" masih menjadi sesuatu yang jarang.
Ketika pemerintah mencanangkan program Gerakan Literasi Sekolah atau disingkat GLS, secara umum yang dijalankan adalah pengkondisian aktifitas membaca buku di sekolah dalam satu waktu. Tolok ukur yang umum dipakai adalah hadirnya perpustakaan-perpustakaan mungil di kelas dan jumlah keterbacaan buku oleh siswa atau kelompok siswa. Dalam konteks bahwa belajar sudah pasti meniscayakan kegiatan membaca, namun dalam GLS hal tersebut ditunjukkan atau dinampakkan menjadi satu indikator tersendiri.
Aktifitas membaca merupakan wujud awal pencapaian literasi baik secara individu maupun komunal. Adanya kebiasaan aktifitas berjadwal di sekolah, membuat pembingkaian aktifitas membaca sangat mudah dilakukan, terlebih dengan adanya pengawasan guru, atau bahkan ditambah dengan adanya penghargaan atau apreasi khusus kepada mereka yang telah mencapai jumlah tertentu dalam menjalani aktifitas membaca ini.
Sesungguhnya aktifitas literasi sudah menyatu dalam alur pembelajaran sehari-hari di kelas. Aktifitas belajar atas satu topik tertentu di bawah bimbingan seorang guru, dengan membaca dari berbagai macam sumber yang sesuai, lalu dilanjutkan dengan proses berdiskusi, dan diakhiri dengan satu evaluasi, sudah sangat mencerminkan aktifitas literasi yang kompleks dan terarah. Hal yang kadang luput dikawal dalam situasi yang sudah ideal ini adalah sesi pengingatan dan pengawalan oleh guru, terkhusus pada bagian mengeksplorasi dan menelaah berbagai macam sumber belajar. Pada umumnya, guru lebih suka memberikan informasi topik yang dipelajari dengan metode komunikasi satu arah, walaupun ada buku bacaan yang sesuai dengan topik tersebut.
Situasi tersebut di atas harus disadari dan mulai diubah oleh sekolah, agar proses pembelajaran menjadi lebih bermakna. Walaupun mungkin nanti akan berakibat pada "molor"-nya jatah waktu materi belajar, namun hal tersebut harus disadari sebagai sebuah akibat yang wajar dari sebuah proses pembelajaran bermakna.
Menuliskan kembali pengalaman membaca merupakan tingkatan selanjutnya dari aktifitas membaca. Hal ini akan memberikan gambaran sejauh mana satu topik informasi dipahami dengan baik oleh para siswa. Dalam hal ini selain bertindak sebagai fasilitator, para guru sebaiknya juga menjadi teladan. Para guru bisa mencontohkan proses mengeskplorasi satu topik informasi, membacanya, lalu menuliskan kembali dalam gaya bahasa sendiri yang lebih ringkas dan menarik, atau kalau perlu dengan menambahkan pengalaman-pengalaman yang terkait dengan topik tersebut. Hal yang terakhir ini, tak sekadar memperkaya makna tulisan, tapi lebih dari itu akan menjadi bukti keterhubungan antara buku dengan dunia yang nyata hadir di sekitarnya atau dunia yang pernah dia tinggali. Pemaknaan bacaan seperti ini akan memberikan kesan yang mendalam, sehingga belajar tak hanya melulu masalah menghafalkan rangkaian kalimat atau rumus.
Di era internet seperti sekarang ini, secara umum orang memahami bahwa di mana pun ada orang yang menulis, maka langkah selanjutnya adalah membaginya di internet. Sebagia makhluk sosial, manusia punya kecenderungan berbagi yang nyaris tanpa batas. Dalam konteks literasi, hal tersebut adalah wujud nyata dari pernyataan pemahaman atas satu topik informasi. Tulisan yang dibagi di internet, tak hanya memberikan akibat positif dari tersebarnya ilmu pengetahuan, tapi lebih dari itu akan membuka kemungkinan ruang interaksi dan diskusi antara si penulis dengan para pembaca.
Hingga saat ini, belum banyak web sekolah yang dimanfaatkan secara maksimal sebagai etalase literasi sekolah. Hal yang semestinya tidak sulit dilakuan karena secara sarana dan prasarana, situasinya memungkinkan. Adanya lomba web sekolah, mestinya juga bisa dijadikan pendorong bagi sekolah untuk rajin mengisi webnya. Tak sekadar webnya jadi terisi dan bermakna, namun secara langsung hal tersebut akan berdampak pada apreasi warga masyarakat kepada pengelolaan sekolah tersebut. Masih menjadi semacam 'mitos penilaian' secara umum, bahwa tingkat profesionalitas suatu lembaga diukur dari aktifitas, isi, dan kesesuaian makna web dengan arus bisnis utama lembaga tersebut. Jika web itu adalah web sekolah, maka sungguh mudah menakarnya dari kemutakhiran dan kesesuaian informasi yang dituliskan di website tersebut.
Menyadari bahwa tantangan pendidikan akan makin beragam dan tajam di masa depan, tak ada salahnya, tak ada jeleknya, jika sekolah secara sungguh-sungguh mengupayakan penampilan website yang tak hanya up-to-date tapi juga bermakna, sesuai dengan makna pendidikannya, sesuai dengan visi misi yang dicanangkannya.
Tinggalkan Komentar