Akronim STEM yakni science, technology, engineering, (and) mathematics, marak dibicarakan di negeri ini, nyaris seiring sejalan dengan gegap gempitanya isu Industri 4.0 ; dan sepertinya tidak ada yang merasa lebih "terancam" selain dunia pendidikan. Suatu hal yang mudah dipahami karena dunia pendidikan menjadi fondasi kekuatan bangsa dalam menghadapi masa depan.
Sebagai satu upaya untuk belajar dari satu pengalaman, tak ada salahnya jika kita menengok ke negera lain yang sudah menetapkan/mencanangkan pembelajaran STEM di dunia persekolahannya.
Di Amerika, pembelajaran STEM mulai marak dibicarakan semenjak Presiden Obama (waktu itu) mengajak warga negaranya untuk "menuju ke puncak pemahaman sains dan matematika kelas menengah".
Menurut Maggie Novak, penulis di situs thelibertarianrepublic . com , ada 4 (empat) hal yang bisa ditunjuk sebagai penyebab belum berjalannya pembelajaran STEM di Amerika. Hal pertama adalah perlunya memperbarui kurikulum K12. Mengapa perlu diperbarui ? Menurut penelitian yang dilakukan oleh Pew Research Centre pada musim panas tahun 2017 lalu, menunjukkan bahwa kurang lebih 43% pembelajaran STEM di level K12 mencapai level rata-rata (average), bahkan 30%-nya berada di bawah rata-rata ; hanya 25% saja yang dianggap di atas rata-rata. Kegamangan juga membayangi di level undergraduate dan post-graduate, karena meskipun secara umum penerapan STEM di kedua tingkatan tersebut dianggap lebih baik, namun sebagian orang tua dan para pelajar beranggapan bahwa desain kurikulum STEM dan pelaksanaannya di lapangan dianggap kurang tepat.
Maggie Novak menyarankan penerapan pembelajaran STEM dilakukan sejak tingkat dasar. Anak-anak perlu dikenalkan pada seluruh aspek STEM dalam kesehariannya, ditunjukkan di mana aspek-aspek tersebut mereka alami dalam kesehariannya dengan pendekatan pembelajaran yang menyenangkan.
Masalah kedua yang ditunjuk oleh Maggie adalah kurangnya motivasi guru dalam mengajarkan STEM di sekolah. Ditengarai bahwa para guru di sana sudah 'overworked' alias kelelahan dan terbelenggu oleh aktifitas-aktifitas lain di luar pekerjaan mengajar. Mungkin kalau di sini, umum disebut sebagai "beban administratif" guru. Dua hal tersebut ditengarai menjadi penyebab rendahnya motivasi para guru untuk mampu menginspirasikan STEM di kelas.
Untuk masalah ini Maggie menyarankan agar para guru lebih banyak didorong untuk mengambil kursus pembelajaran STEM dan/atau mengikuti program-program pembelajaran guru yang lebih up-to-date demi menjaga kesegaran tema mengajar STEM. Dalam hal ini pemerintah diminta untuk mengawal hal-hal tersebut.
Masalah ketiga adalah tingginya permintaan industri untuk tenaga kerja berbasis STEM, yang melampaui kemampuan penyediaan lulusandari insitusi pendidikan. Sebagai negara maju, publik pelajar Amerika menghadapi tantangan yang tidak sederhana, di mana di satu sisi, negaranya menjadi tolok ukur kemajuan industri dunia, tapi di sisi lain, di saat yang sama, kemampuan secara umum lulusan Amerika untuk bisa benar-benar menjadi pemeran utama di negara mereka sendiri justru terhambat, karena kemampuan mereka yang tidak mencukupi. Hal ini bukan saja memalukan, tapi lebih jelas lagi mengkhawatirkan.
Masalah berikutnya adalah terpusatnya alias tidak meratanya pembelajaran STEM di Amerika, karena masalah warna kulit (ras) dan kemampuan ekonomi. Hampir seperti masalah yang umum terjadi di negara berkembang, sebagian publik Amerika tidak mendapatkan hak pendidikan layak, disebabkan oleh dua faktor tersebut. Pembiaran pada masalah ini dikhawatirkan menjadi 'bom waktu sosial', karena pada akhirnya akan ada satu golongan di masyarakat yang menjadi 'beban', karena ketidakmampuan mereka dalam mencukupi kebutuhan kehidupannya sendiri secara layak.
Tulisan Maggie diakhiri dengan semacam ramalan, bahwa kelak penerapan STEM pasti akan 'mati' manakala persekolahan masih bertahan dengan model pembelajaran berbasis pada mata pelajaran alias subjek. Para pelajar harus mulai dikenalkan pembelajaran multi-disiplin ilmu dalam satu paket belajar yang mencakup aspek-aspek STEM secara terintegrasi. Lebih penting lagi, paket belajar tersebut sebisa mungkin harus berkaitan dengan masalah dan lingkungan kesehariannya.
Menutup tulisan ini, saya ingin berkomentar bahwa walaupun saat ini sepertinya pembelajaran STEM belum "diwajibkan" secara konstitusional, namun masalah-masalah yang kita hadapi saat ini, secara umum sama dan sebangun dengan masalah-masalah yang disampaikan oleh Maggie di atas. Walaupun akan tetap ada kelompok-kelompok kecil sekolah yang berani dan mampu bereksperimen dengan pembelajaran STEM, namun untuk bisa memberikan dampak secara nasional, hingga bisa diperhitungan menjadi salah satu faktor yang mampu mengangkat perekonimian bangsa dan negara, maka pemerintah wajib meletakkan urusan STEM ini level top-priority. Di penghujung tahun 2018 lalu, beberapa pelatihan STEM sudah diinisasi di beberapa wilayah. Satu hal yang pantas untuk dikhawatirkan adalah pelaksanaannya di lapangan.
sumber : https://thelibertarianrepublic.com/current-problems-of-stem-education-in-the-us-and-what-to-do-about-them/
Tinggalkan Komentar