Bencana banjir melanda Bengkulu, pada April 2019, Sumber: bengkuluinteraktif.com
Akademisi Universitas Bengkulu Abdul Rahman mengingatkan pemerintah daerah segera mengatasi pemicu banjir Bengkulu dengan mengevaluasi aktivitas penambangan di hulu sungai, sebab banjir lebih parah masih berpotensi melanda Bengkulu Tengah dan Kota Bengkulu.
“Harus ada evaluasi aktivitas pertambangan di hulu sungai dan selama itu tidak diperbaiki maka banjir lebih parah akan melanda Bengkulu Tengah dan Kota Bengkulu,” kata Abdul di Bengkulu, Sabtu, 4 Mei 2019.
Abdul melanjutkan, pembukaan lahan di hulu sungai untuk penambangan dapat dipastikan menjadi salah satu biang keladi banjir parah yang melanda daerah itu. Berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Abdul menjelaskan, data tersebut menunjukkan curah hujan di atas rata-rata, yaitu 182 dan 289 mm terjadi pada 24 dan 26 April.
Baca juga: Banjir Bengkulu, BPBD: Kerugian Sementara Rp 144 Miliar
Sedangkan berdasarkan luas area tangkapan DAS Air Bengkulu di hulu, Abdul melanjutkan, jika curah hujan yang 200 mm per hari tersebut seluruhnya mengalir ke muara, dalam hal ini Kota Bengkulu. Maka seharusnya, kata Abdul, hanya menyebabkan kenaikan permukaan air atau genangan setinggi 20 cm.
“Ini sudah dengan anggapan tanah di daerah hulu sudah jenuh, tidak menyerap air sama sekali, sehingga seluruh air dialirkan ke muara dengan tipikal sungai di Bengkulu adalah pendek-pendek, kontur curam, dan beraliran deras, maka kita asumsikan 200 mm itu langsung digelontor ke muara,” ucap dosen Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Politik (FKIP) Universitas Bengkulu itu.
Pertanyaannya, kata Abdul, prediksi kenaikan 20 cm tersebut melonjak hingga dua meter di wilayah muara. Kondisi itu terjadi karena yang mengalir ke muara bukan murni air hujan, tetapi air bercampur erosi. Erosi itulah yang kemungkinan besar menyebabkan banjir parah di Kota Bengkulu.
Abdul mengatakan korelasi antara erosi dengan kejadian banjir dapat dijelaskan setidaknya dalam empat aspek, yaitu volume air menjadi bertambah karena bercampur dengan bahan erosi, seperti tanah, pasir, vegetasi, dan sampah, kedua, erosi dari hulu akan memicu erosi di sepanjang perjalanan air.
Aspek ketiga, kata Abdul, partikel erosi akan menyebabkan infiltrasi air ke dalam tanah menjadi lebih lambat. Partikel erosi pasti berukuran lebih besar daripada air, sehingga sedikit atau banyak akan menyumbat pori tanah dan membuat laju peresapan air ke dalam tanah menjadi lebih lambat.
Keempat, molekul padat itu akan membentuk sedimentasi sehingga memperkecil daerah dan area penampungan air. Penampung air yang diisi dengan air bercampur lumpur, maka bagian lumpur akan mengendap di dasar dan memperkecil volume penampungan air.
“Jika banjir dengan penyebab serupa terjadi lagi beberapa tahun ke depan, yakinlah efeknya akan lebih parah, sebab daerah endapan atau sedimentasi akan semakin luas sehingga daerah buangan air menjadi berkurang,” ujar Abdul yang saat ini sedang meneliti daerah aliran sungai (DAS) untuk empat sungai di wilayah Bengkulu itu.
Sumber utama erosi, menurut Abdul, dapat dipastikan berasal dari kegiatan penambangan. Kegiatan itu akan membuka tutupan tajuk sehingga berpeluang memicu erosi.
Baca juga: Ada Aktivitas Tambang, Walhi Desak KLHK Kirim Tim ke DAS Bengkulu
Berbeda dengan kegiatan pembukaan lahan, seperti perkebunan, Abdul menjelaskan, kegiatan penambangan akan terbuka tanpa tutupan tajuk dalam waktu lama. Sedangkan kegiatan perkebunan biasanya memiliki fase singkat lahan terbuka, sekitar enam bulan atau satu tahun.
Meski data yang disajikan menunjukkan kawasan penambangan hanya kurang dari lima persen dan kawasan perladangan hingga 72 persen, tetapi, Abdul menjelaskan, perkebunan rakyat tidak akan mengubah kontur wilayah, sedangkan kegiatan penambangan menghasilkan jurang dan ngarai buatan yang rentan erosi.
Terlebih, kata Abdul, jika penambangan di daerah dengan kemiringan di atas 45 derajat Celsius, saat hujan deras, tidak ubahnya seperti memindahkan volume gunung ke daerah muara.
Tinggalkan Komentar