Cari

Hari Perempuan Internasional, 1 Dari 4 Anak Perempuan Indonesia Pernah Alami Kekerasan


Schoolmedia Jakarta ---- Memperingati Hari Perempuan Internasional, Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Veronica Tan mendukung kolaborasi lintas sektor dalam mengupayakan kesetaraan gender, salah satunya melalui pemenuhan hak kesehatan reproduksi bagi perempuan.

Berbicara pada Konferensi Nasional Perempuan 2025: Perempuan Sehat dan Berdaya, Menuju Kesetaraan Global, Wamen PPPA menegaskan faktor kesehatan reproduksi akan berpengaruh terhadap berbagai faktor kehidupan perempuan mulai dari sosial, ekonomi hingga budaya.

Untuk mewujudkan pemberdayaan perempuan membutuhkan kolaborasi dari seluruh pihak baik itu pemerintah, legislatif, dunia usaha, juga organisasi masyarakat. Hal itu sangat diperlukan, karena saat ini kondisinya tidak baik-baik saja.

Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kemen PPPA, Ratna Susianawati menyatakan SPHPN tahun 2024 dari hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) dan Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) tahun 2024 menunjukkan 1 dari 4 perempuan usia 15 – 64 tahun di Indonesia pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dari pasangan dan/atau selain pasangan selama hidupnya.   

Hasil prevalensi kekerasan SPHPN 2024 lebih rendah dari prevalensi global dimana 1 dari 3 pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual selama hidupnya.  Hasil survei 2024, terjadi penurunan prevalensi kekerasan seksual dan/atau fisik terhadap perempuan oleh pasangan dan/atau selain pasangan baik dalam setahun terakhir   (-2,1%) maupun seumur hidup (-2%), jika dibandingkan dengan tahun 2021.  Kekerasan terhadap perempuan cenderung terjadi pada perempuan yang tinggal di perkotaan, berpendidikan SMA ke atas, dan/atau yang bekerja.

         Hasil SPHPN juga menunjukkan bahwa pada tahun  2024 prevalensi kekerasan berbasis gender online (KBGO) menurun dan umunnya terjadi pada perempuan usia 15 – 24 tahun. Terjadi pula penurunan praktik sunat perempuan usia 15 – 49 tahun jika dibandingkan dengan tahun 2021. Penurunan juga terjadi pada prevalensi angka KDRT yaitu sebesar 2,5 persen.

Metode analisis yang digunakan SPHPN 2024 menggabungkan analisis kuantitatif dan kualitatif. Survei dilakukan di 38 provinsi di Indonesia pada 14.240 rumah tangga yang tersebar di 1.424 blok sensus. Selain itu hasil tahun 2024 dikomparasikan dengan data hasil analisis tahun SPHPN 2021 dan 2016 yang telah terangkum dalam laporan hasil analisis SPHPN 2021.   

Sementara untuk studi kualitatif SPHPN dilakukan dengan wawancara mendalam dan berkelompok di lima Kabupaten/Kota. Hasil studi kualitatif menunjukkan peningkatan pengetahuan dan kesadaran kekerasan diekspektasikan dapat menurunkan kekerasan terhadap perempuan. Paparan informasi mengenai kekerasan banyak didapatkan melalui jejaring pertemanan, pekerjaan, hingga sosial media.

Sementara itu, pada paparannya, Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA, Nahar mengungkapkan SNPHAR dilakukan di 15.120 sampel di 1.512 blok sensus yang tersebar di 189 Kabupaten/Kota.  

Dari hasil SNPHAR, diperkirakan sekitar 11,5 juta atau 50,78% anak usia 13-17 tahun, pernah mengalami salah satu bentuk kekerasan atau lebih di sepanjang hidupnya.  Pada pengalaman yang lebih baru, yaitu dalam 12 bulan terakhir, diperkirakan sebanyak 7,6 juta anak usia 13-17 tahun atau 33,64% mengalami salah satu bentuk kekerasan atau lebih. 

Pada tahun 2024, yang dominan adalah kekerasan emosional dimana 45 dari 100 laki-laki dan perempuan usia 13 – 17 tahun mengalami salah satu bentuk kekerasan emosional di sepanjang hidupnya.  

Untuk pengalaman 12 tahun terakhir, 30 dari 100 laki-laki dan perempuan usia 13 – 17 tahun mengalami salah satu bentuk kekerasan emosional atau lebih.  Teman sebaya adalah pelaku kekerasan emosional dengan persentase tertinggi yaitu 83,44% pada laki-laki dan 85,08% pada perempuan (dari responden usia 13 – 17 tahun).   

Bentuk kekerasan emosional yang dialami diantaranya dari orangtua (tidak pantas disayang, bodoh, dibentak, diancam, anak yang tidak diharapkan lahir) dan dari teman sebaya (alami diskiriminasi SARA, gerakan tidak senonoh,stigma fisik, bullying atas kondisi fisik dan ekonomi keluarga).

Angka prevalensi kekerasan terhadap anak pada SNPHAR 2024 lebih rendah dari pada tahun 2018, akan tetapi lebih tinggi dibandingkan angka prevalensi tahun 2021, baik pada kekerasan sepanjang hidup maupun dalam 12 bulan terakhir.

Dari data ini Nahar menjelaskan bahwa data perbandingan ini tidak dapat dengan sendirinya disimpulkan bahwa terjadi penurunan atau peningkatan angka prevalensi kekerasan terhadap anak.  Menurut Nahar membandingkan kekerasan sepanjang hidup mungkin akan mengandung bias ingatan, karena harus mengingat kejadian dalam waktu yang lebih lama. 

SNPHAR 2024 adalah survei rumah tangga nasional dengan menggunakan desain survei kluster empat tahap yang terstratifikasi di 5 wilayah: Sumatera, Jawa & Bali, Kalimantan, Sulawesi, dan lainnya.

Tujuan SNPHAR 2024 untuk mengukur prevalensi kekerasan fisik, emosional dan seksual terhadap anak di Indonesia, mengidentifikasi faktor risiko dan faktor perlindungan dari tindak kekerasan, memperkirakan dampak dari tindak kekerasan, dan mendokumentasikan upaya pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap anak.

Deputi Bidang Statistik Sosial dari Badan Pusat Statistik, Ateng Hartono mengapresiasi atas telah dirilisnya 2 (dua) indikator utama terhadap perempuan dan anak. Ateng berharap hasil SPHPN dan SNPHAR ini dikawal bersama-sama oleh berbagai pihak mengingat isu perempuan dan anak sangat berdampak pada pembangunan manusia Indonesia ke depan. Ateng mengambil contoh dari indikator yang menunjukkan bahwa kekerasan emosional banyak terjadi pada anak-anak dimana jika hal ini tidak cepat ditanggapi oleh stake holders yang beririsan programnya dengan anak-anak maka dikhawatirkan Indonesia Emas 2045 gagal dicapai.

SPHPN dan SNPHAR adalah survei yang memiliki karakteristik dan kekhususan tertentu, baik dalam pelaksanaannya, kuesioner/daftar pertanyaan, petugas pengumpulan data bahkan respondennya. Survei SPHPN dan SNPHAR memiliki tantangan tersendiri untuk memperoleh informasinya karena terkait pengalaman kekerasan yang dialami perempuan dan anak, yang masih sangat terkait dengan masalah budaya, mindset, serta stigma yang berlaku di masyarakat.

Survei juga memiliki resiko yang besar, mengingat para responden perempuan dan anak beberapa di antaranya adalah korban kekerasan dalam berbagai bentuk, baik fisik, emosional, dan seksual, serta praktek berbahaya lainnya.

Dalam survei ini, Kemen PPPA bekerjasama dengan BPS Pusat, Lembaga Demografi Universitas Indonesia (LDUI) selaku pelaksana pengumpulan data SPHPN dengan studi kuantitatif, dan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM UI) untuk studi kualitatif, serta Politeknik Kesejahteraan Sosial Bandung selaku pelaksana pengumpulan data SNPHAR

   Pada kesempatan ini juga dilakukan peluncuran sistem pemantauan alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) terkait anak, yaitu ALIFA (Analisis dan Layanan Informasi Fiskal Terkait Anak). ALIFA adalah kolaborasi yang dilakukan antara Kemen PPPA dengan Kementerian Keuangan dan didukung oleh UNICEF.

    â€œKami berharap ALIFA dapat dikembangkan menjadi sebuah instrument analisis pembangunan yang dapat menjamin pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus anak yang dilakukan secara terencana, menyeluruh, dan berkelanjutan sehingga pembangunan anak dapat lebih terukur,” ujar Asisten Deputi Pemenuhan Hak Sipil, . Informasi dan Partisipasi Anak Kemen PPPA, Endah Sri Rejeki       

"Kalau kita membahas kesetaraan gender maka kita perlu membahas kondisi perkawinan anak yang masih terjadi, dan bagaimana perempuan di daerah pinggiran kota maupun terpencil yang belum mendapatkan edukasi kesehatan reproduksi. Anak perempuan yang menikah akan putus sekolah, mereka juga belum memahami pentingnya perencanaan keluarga, hal itu menyebabkan mereka tidak berdaya secara ekonomi, dan siklus tersebut akan berulang jika belum ada intervensi yang signifikan,” kata Wamen PPPA.

Wamen PPPA menyampaikan intervensi yang dilakukan untuk membangun kesetaraan gender dan pemberdayaan perlu dilaksanakan dari hulu ke hilir. Dari hulu, upaya pemberdayaan perempuan dapat dilaksanakan dengan mendorong perempuan berpartisipasi dalam perencanaan program di akar rumput,  yaitu dengan terlibat dan berperan aktif pada Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) di tingkat masyarakat terkecil.

“Kami juga mendorong pemberdayaan perempuan di tingkat akar rumput melalui kolaborasi antar Kementerian/Lembaga dan partisipasi masyarakat melalui program Ruang Bersama Indonesia (RBI). RBI akan menjadi community center bagi masyarakat, mulai dari anak-anak, ibu, hingga lansia untuk beraktivitas, berolahraga, saling mengedukasi tentang kesehatan reproduksi, dan mendorong kemandirian ekonomi,” kata Wamen PPPA.

Wamen PPPA menambahkan, upaya dalam mewujudkan kesetaraan gender juga telah diupayakan pemerintah di hilir. Adapun upaya tersebut dilaksanakan melalui call center pengaduan kekerasan bagi perempuan dan anak SAPA 129 (Sahabat Perempuan dan Anak) yang terintegrasi. Melalui upaya tersebut diharapkan dapat memberikan perlindungan bagi pelaku dan efek jera bagi pelaku.

Senada dengan itu, Country Representative United Nations Population Fund (UNFPA) Indonesia, Hassan Mohtashami menyampaikan diskriminasi terhadap perempuan telah dialami sejak perempuan dalam kandungan. Masih ada masyarakat di belahan dunia lain yang lebih mengutamakan anak laki-laki dibandingkan perempuan.

Jika seorang ibu hamil anak perempuan, anak tersebut akan digugurkan. Praktik aborsi tersebut bukan hanya bentuk diskriminasi terhadap perempuan, tetapi dapat menyebabkan risiko pada kesehatan reproduksi ibu yang mengandung.

“Kesehatan reproduksi merupakan landasan bagi kesetaraan gender dan hak asasi manusia. Hal itu juga menjadi landasan bagi pembangunan bangsa, perdamaian keamanan dan pertumbuhan ekonomi,” kata Hassan.

Hassan menyampaikan jika perempuan tidak dapat membuat keputusan untuk tubuhnya maka akan sulit bagi mereka mengupayakan kesetaraan gender.

Seorang ibu akan disibukkan untuk melaksanakan fungsi reproduksi seperti hamil, melahirkan, dan mengurus anak padahal banyak masalah yang perlu diperhatikan perempuan seperti angka kematian ibu, kekerasan berbasis gender, dan upaya pemeliharaan kesehatan reproduksi lainnya. Oleh karenanya, upaya mewujudkan pemenuhan kesehatan reproduksi perempuan perlu menjadi perhatian bersama.

Sementara itu, Corporate Strategy Officer and CEO Chief of Staff Takeda Pharmaceuticals, Akiko Amakawa menyampaikan bahwa dalam mewujudkan kesetaraan gender perlu dilaksanakan upaya bersama dari berbagai sektor, sehingga bisa menciptakan lingkungan yang inklusif bagi perempuan.

TAKEDA telah memberikan hibah selama empat tahun pada UNFPA untuk Program Women at Center untuk program melawan kekerasan terhadap perempuan, dan Indonesia merupakan salah satu negara yang masuk dalam cakupannya.

"Saya sangat terkesan dengan dampak yang dihasilkan dengan program ini. Upaya tersebut dilakukan melalui pelatihan dan peningkatan kapasitas, mendorong keterlibatan masyarakat, serta edukasi dalam meningkatkan kesadaran masyarakat. TAKEDA  mengapresiasi UNFPA, Kemen PPPA dan Kementerian Kesehatan yang telah bermitra dengan kami dan mewujudkan kesetaraan gender,” kata Akiko.

 Tim Schoolmedia

Sumber Siaran Pers Kemen PPPA

 

Berita Selanjutnya
1 Desa 1 PAUD Perlu Komitmen Bersama Lintas Kementerian/Lembaga
Berita Sebelumnya
70.113 Guru Binaan Kemenag Ikuti PPG Daljab Angkatan I

Berita Lainnya:

Comments ()

Tinggalkan Komentar