Kolaborasi Pemerintah, Swasta dan PT Hadapi Perubahan Iklim, Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup Digagas

Schoolmedia News Depok ----- Direktorat Inovasi dan Science Techno Universitas Indonesia (UI) telah menyelenggarakan webinar dengan tema Climate Change Challenge: Preparing fo Indonesia’s Green and Suistanable Future secara daring melalui zoom dan live youtube pada hari ini. 

Webinar dibuka dengan sambutan dari Rektor UI, Prof. Ari Kuncoro, S.E., M.A., Ph.D., yang dilanjutkan dengan penyampaian keynote speech oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani, Ph.D. Pembicara yang hadir pada webinar ini adalah Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI, Febrio Nathan Kacaribu, Ph.D. dan Ir. Laksmi Dewanti, MA. selaku Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai narasumber.

Setelah pemaparan materi oleh narasumber, acara diteruskan ke sesi diskusi bersama para panelis, lalu ditutup dengan sesi tanya jawab. Sesi ini diisi oleh para pembahas, yaitu Direktur Center for Sustainable Infrastructure Development UI, Mohammed Ali Berawi, Ph.D. dan Chairman of Research Center for Climate Change UI, Prof. Jatna Supriatna, Ph.D., yang menjawab berbagai pertanyaan maupun menanggapi gagasan yang masuk.

Dalam menanggapi pertanyaan dari para peserta maupun gagasan yang disampaikan oleh para narasumber maupun panelis, Prof. Jatna Supriatna menjelaskan tentang pentingnya kolaborasi antara pihak pemerintah dan swasta bersama perguruan tinggi, sebagai institusi yang memiliki kemampuan riset terkait dengan permasalahan perubahan iklim.

“Sebagaimana yang tadi sudah disampaikan Ibu Menteri (Menteri Keuangan, Sri Mulyani), Indonesia membutuhkan kurang lebih 250 milliar USD untuk investasi agar terlepas dari bencana iklim menurut laporan Biennial Update Report (BUR) di Tahun 2018. Dalam menghadapi hal ini, diperlukan kolaborasi antara pihak pemerintah dan swasta bersama universitas karena yang dibutuhkan bukan hanya investasi keuangan saja, tapi juga investasi riset,” ujar Prof. Jatna.

Ia melanjutkan penjelasan mengenai signifikansi dari persetujuan pendanaan dari green climate fund  untuk proyek pengurangan emisi dari deforestasi dan degdarasi hutan berbentuk result based payment sebesar 300 Juta USD di tahun 2020. Dalam pendapat Prof. Jatna,  hal tersebut sangat signifikan sekali karena Indonesia sangat berhasil mengurangi deforestasi yang mengakibatkan para donor dari luar negeri tertarik untuk memberikan bantuan.

“Indonesia sangat berhasil mengatasi deforestasi. Pada tahun 2015, angka deforestasi kita sangat tinggi karena ada kebakaran hutan akibat dari el nino. Kemudian di tahun 2016 angka deforestasi tersebut menurun dengan signifikan, sehingga para pendonor tertarik karena melihat Indonesia sangat serius dalam mengatasi permasalahan ini, seperti Norwegia yang menjadi pendonor terbesar,” katanya.

Sr

Sri Mulyani mengawali pemaparannya dengan menyampaikan bahwa tema webinar ini sangat mengena, penting, dan tepat waktu meskipun saat ini Indonesia sedang menghadapi tantangan global, yaitu Covid-19. Oleh karena itu SDM, perhatian, dan economic policy Indonesia atau kebijakan-kebijakan secara umum ditujukan untuk menangani Covid-19, sambil melakukan langkah-langkah upaya reformasi struktural untuk menyiapkan Indonesia tetap bisa melaksanakan proses pembangunan dan cita-cita RI yaitu menciptakan masyarakat yang adil dan makmur, serta berkelanjutan.

Sri Mulyani mengatakan bahwa saat ini dunia dihadapkan dengan ancaman yang sama catastrophic-nya, yaitu Climate Change. Berbagai studi menunjukkan bahwa dampak dari Climate Change akan sangat dahsyat; setiap negara harus menyiapkan strategi dan berkontribusi karena ini adalah persoalan global. Salah satu studi yang sering dijadikan referensi untuk pertemuan-pertemuan Climate Change di dunia merujuk pada laporan United Nations Environment Programme mengenai kesenjangan emisi.

“Bahwa dunia saat ini suhunya 1.10C lebih hangat dibandingkan pra industrialisasi. Artinya, konsekuensinya ada di berbagai belahan dunia melihat fenomena yang cukup catastrophic, seperti di Indonesia frekuensi hujan yang terus menerus hinga 18 bulan terakhir atau bencana yang berasal dari hidrometeorologi. Di kutub utara dan selatan adalah fenomena cairnya es, di seluruh negara mengalami perubahan iklim yang menyebabkan kekeringan berkepanjangan atau hujan yang terus-menerus,” katanya.

Ia menambahkan, “Artinya, masyarakat dihadapkan pada konsekuensi, yaitu harus beradaptasi pada perubahan iklim atau aktif memitigasi risikonya. Kalau setiap negara melaksanakan kontribusi penurunan karbon ternyata dunia tidak akan terhindar dari kenaikan suhu, karena berdasarkan Nationally Determined Contribution (NDC) di Paris bahwa dunia pada tahun 2030 suhunya naik menjadi 3,20C di atas pra industri,” kata Sri Mulyani.

Menurut para ahli, suhu tersebut telah melewati batas kenaikan suhu maksimal yang bisa ditahan/dilalui oleh bumi yaitu 1.5-20C. Oleh karena itu, belajar dari pandemi Covid-19, maka dengan waktu kurang dari 10 tahun dunia dihadapkan pada bencana lain, yaitu Climate Change.

Menurut Sri Mulyani, perlu target yang lebih ambisius, Indonesia berkomitmen untuk menurunkan CO2 emission-nya yaitu 29% dengan menggunakan upaya dan resources sendiri; atau dapat menurunkan CO2 emission sebesar 41% apabila mendapatkan dukungan internasional. “Untuk meng-address issue Climate Change bukan sebuah upaya yang murah dan gratis. Indonesia sudah menerjemahkan upaya penurunan emisi karbon untuk bisa mencapai komitmen tersebut pada program nasional Rencana Pembangunan Jangka Menengah diantaranya program Prioritas Nasional nomor 6,” ujar Sri Mulyani.

Kementerian Keuangan turut aktif mendukung dan memfasilitasi berbagai program dan kebijakan pemerintah untuk Climate Change, yaitu berinisiatif melakukan budget tagging sejak tahun 2016 hingga sekarang. Berdasarkan Second Biennial Report On Climate Change tahun 2018 untuk Indonesia menurunkan CO2 emission-nya menjadi 29% atau 41% dengan dukungan internasional dibutuhkan dana sebanyak Rp 3.461 T hingga tahun 2030. “Dana ini lebih besar dari pada program pemulihan ekonomi Nasional Indonesia untuk penanganan Covid-19,” ujar Sri Mulyani.

Lebih lanjut Sri Mulyani mengatakan bahwa menghadapi Climate Change tidak hanya mengandalkan APBN, harus dilakukan gotong-royong semua pihak, yakni antara pemerintah, swasta, para philanthropist, dan terutama masyarakat seperti melalui manajemen sampah, penggunaan energi, air bersih, dan lainnya. Ia berharap, selain di pusat, di daerah juga semakin menunjukkan komitmen untuk isu Climate Change. Saat ini, terdapat tujuh daerah provinsi, tiga kabupaten, dan satu kota yang mendapatkan dukungan Kemenkeu melalui berbagai instrumen. Enam daerah lagi akan ditambahkan mengikuti program regional climate budget tagging.

Di akhir penjelasannya, Sri Mulyani menyampaikan bahwa Kemenkeu mendukung pembentukan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup dan upaya seperti yang dilakukan PT SMI Special Mission Vehicle (SMV) melalui pembentukan SDG Indonesia One. “Ini merupakan blended finance yang mencoba menarik dana-dana dari berbagai sumber internasional, dalam negeri, public, private, multilateral, maupun philanthropist di dalam ikut membangun berbagai upaya dan program yang berhubungan dengan Climate Change,” katanya.

Penulis : Eko Schoolmedia

Artikel Selanjutnya
Akibat Pandemi Industri Besar di Sektor Pertanian Bertumbangan
Artikel Sebelumnya
6 Aktivitas untuk Isi Liburan Sekolah yang Bisa dilakukan di Rumah

Artikel Lainnya:

Comments (0)

    Tinggalkan Komentar