(pixabay)
Situasi ketenagakerjaan di Indonesia yang kurang menggembirakan hingga saat ini, di sisi lain merupakan tagihan atau bahkan gugatan pada janji-janji hasil pendidikan di negeri ini, khususnya pendidikan kejuruan. Walaupun di atas "kertas kebijakan" jumlah kompetensi kejuruan sangat banyak, tapi kenyataan hasil pendidikan kejuruan belumlah mencerminkan harapan dari "kertas kebijakan" tersebut.
Saat ini dunia tenaga kerja dikuasai oleh mereka yang mampu berpikir dan bekerja selangkah lebih maju daripada mereka yang berpikir dan bekerja pada konteks rutinitas yang mulai digantikan oleh robot (baik virtual ('bot') maupun robot nyata). Istilah "industri kreatif" menjadi frasa baru yang menantang para pelaku pendidikan dan calon pekerja. Kata "industri" yang sebelumnya hanya bisa dibayangkan dan dipahami dengan keberadaan pabrik-pabrik dan kapital-kapital raksasa, menjadi "amburadul" maknanya saat Google, Facebook, GoJek, dan seterusnya, nyaris melibas semua industri era sebelumnya ; padahal awalnya "hanya" dimulai dari ide "solusi atas suatu masalah" atau "tawaran yang lebih baik dari sebelumnya".
Di dunia pendidikan kejuruan Indonesia ini bisa dilihat dari mulai mencuatnya jurusan-jurusan yang semula disandarkan pada industri-industri pabrikan ke "industri" personal dan komunitas. Beberapa tahun belakangan ini banyak sekali SMK di Indonesia yang membuka pendidikan dalam rumpun teknologi informasi dan komunikasi serta industri kreatif. Sebagaimana makna industri pada situasi "industri sebelumnya", di era industri kreatif, juga terdapat industri-industri yang berlomba-lomba menawarkan kemudahan pemakaian, hasil yang memenuhi harapan, dan integritas yg "seamless" dengan platform lainnya. Maka kemudian kita mengenal ada sertifikat kompetensi Microsoft, Cisco, Mikrotik, dan seterusnya.
Kini saat Revitalisasi SMK dicanangkan, salah satu jurusan yang mendapatkan perhatian besar adalah jurusan yang berkaitan dengan industri kreatif. Program-program keahlian yang muara produknya disandarkan pada kemampuan seseorang untuk menciptakan sesuatu dengan bantuan komputer, internet, smartphone, printer 3D, arduino, dan seterusnya, menjadi idola baru di pendidikan kejuruan saat ini. Dan memang tidak salah, karena bidang-bidang tersebut memang sedang dibutuhkan di dunia saat ini. Dan yang lebih menjanjikan, karena pasar tenaga kerjanya tak dibatasi oleh teritori negara (dengan syarat mampu berkomunikasi).
Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah bagaimana pendidikan kejuruan benar-benar mampu menangkap peluang ini, sekaligus mampu menaklukkan tantangan-tantangannya seperti keterampilan berbahasa Inggris baik pasif maupun aktif. Keterampilan bahasa Inggris, minimal pasif, menjadi "mandatory" alias wajib untuk mengetahui peluang-peluang yang mungkin bisa dikerjasamakan dengan institusi pendidikan kejuruan, sesuai dengan program keahliannya.
Maraknya sertifikasi Microsoft, Cisco, Mikrotik dan seterusnya di tahun-tahun kemarin menandakan bahwa industri IT sebenarnya membutuhkan 'kader-kader' baru untuk memperluas dan memperdalam cakupan bisnisnya. Hal serupa juga ada dan terjadi di dunia kreatif IT, yang di dunia diwakili oleh brand-brand ternama seperti Blender, Adobe, Autodesk, Unity, Unreal, dan seterusnya. Dan tak hanya industri yang bergerak di bidang pengembangan perangkat lunak, tapi juga industri-industri pendukung industri kreatif, seperti industri instrumen atau alat-alat yang mendukung proses kreatif, misal "motion capture", AR/VR/MR, drone, dan seterusnya. Dalam hal ini juga termasuk 'edukasti industri kreatif', yang sudah terlebih dahulu berjaya melalui platform MOOC alias kursus online, baik yang berbayar maupun yang gratis.
Perangkat lunak dan perangkat keras yang berasal dari industri-industri kreatif dan segala turunannya bukanlah perangkat yang bisa ditebus dengan harga yang murah. Meskipun demikian, sebagian besar dari industri tersebut memberikan diskon harga yang khusus untuk dikerjasamakan dengan sekolah/kampus dengan syarat dan kondisi yang ketat dan mengikat. Autodesk bahkan memberikan hak pakai secara cuma-cuma beberapa aplikasinya kepada para pengguna yang berasal dari sekolah atau kampus.
Salah satu tantangan nyata untuk bisa menangkap peluang ini adalah kemampuan dari sekolah-sekolah tersebut untuk mampu berkomunikasi dengan sehat dan aktif di forum-forum kreatif yang ada di seluruh dunia ; hal inilah yang menjadikan penguasaan bahasa Ingris, minimal pasif menjadi salah satu syarat pokoknya.
Mengetahui tantangan dan peluang di atas, pemerintah melalui kemdikbud, dalam hal ini Dirjen PSMK, semestinya bisa melakukan bantuan komunikasi atau bahkan jika perlu sampai kepada bantuan fasilitas berlangganan hak guna-pakai aplikasi-aplikasi yang secara kurikulum memang dibutuhkan untuk pembelajaran program keahlian industri kreatif dan turunannya. Sekolah-sekolah kejuruan yang akan difasilitasi, wajib lolos "assessment" Dirjen PSMK, khususnya pada konteks visi, misi, dan indikator ketercapaian yang konkrit pada kedua hal tersebut. Dirjen PSMK harus mampu melakukan kalkulasi bisnis mikro-makro, yang salah satunya adalah indikator ketercapaian skala industri kreatif ; harus ada nilai tambah ekonomi baik secara makro (untuk daerah maupun nasional) dan mikro (untuk pribadi dan keluaganya). Mestinya tidak terlalu sulit melakukan hal ini karena data-data dari hal-hal yang terkait dengan rencana tersebut hampir semuanya bisa diperoleh dengan googling. Hal ini amat sangat penting, karena kita semestinya belajar dari hasil kerjasama kemdikbud dengan Microsoft, yang bahkan berakhir dengan dicabutnya mapel TIK dari sekolah-sekolah kita.
Biaya berlangganan aplikasi untuk edukasi, seberapa pun murahnya(atau mahalnya) , adalah dana rakyat yang wajib dipertanggungjawabkan secara moral dan material kepada seluruh rakyat. Sampai kapan pun dan di mana pun, tagihan nyata dari pendidikan kejuruan adalah kemampuan bekerja para alumni tepat di saat mereka menyelesaikan durasi waktu diklatnya. Makna "bekerja" di sini tidaklah harus menjadi karyawan atau buruh, tapi bahkan lebih penting mampu menjadi "majikan bagi diri sendiri", dengan mampu menangkap peluang-peluang industri kreatif yang ada.
(ditulis oleh Setyo Purnomo)
Tinggalkan Komentar