Foto: Pixabay
Schoolmedia News, Bandung - Salah satu material utama penyusun aki adalah timbal (Pb). Timbal memiliki berbagai dampak negatif terhadap manusia dan lingkungan jika tidak diolah dengan bijak. Upaya untuk mengurangi bahaya peleburan aki bekas tersebut, dapat dilakukan secara konvensional.
Hal tersebut mengemuka dalam paparan Dosen Teknik Metalurgi Metalurgi ITB Dr.-Ing. Zulfiadi Zulhan, S.T., M.T. dalam webinar berjudul “Selamatkan Lingkungan dari Peleburan Aki Bekas Ilegal” yang diadakan Direktorat Penilaian Kinerja Pengelolaan Limbah B3 dan Non Limbah B3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dengan tema “Time For Nature” untuk memeringati hari lingkungan hidup pada Selasa, 16 Juni 2020, seperti dilansir dari laman ITB.
Zulfiadi menjelaskan, aki yang berfungsi sebagai penyimpan energi listrik dalam bentuk kimia pada kendaraan bermotor seakan menjadikannya bagian tak terpisahkan. Material utama penyusunnya adalah timbal (Pb) baik dalam bentuk logam maupun pasta. Namun permasalahan ditimbulkan saat aki sudah habis umur pakainya karena timbal mengakibatkan beberapa dampak negatif jika tidak diolah secara benar.
Baca juga: Lika-liku Pendidikan di DKI Saat Pandemi Covid-19
Pada webinar ini, Zulfiadi mengulas topik tentang proses pengolahan aki bekas dengan judul presentasi “Teknologi Peleburan Aki Bekas Ramah Lingkungan.”
Latar belakang fokus bahasan timbal pada aki karena data menunjukkan sekitar 80% timbal dimanfaatkan untuk elemen penyimpanan energi listrik.
Selain itu Zulfiadi menyampaikan bahwa proyeksi kebutuhan aki terus melonjak untuk beberapa tahun ke depan dengan salah satu indeks pertumbuhannya mencapai 6,09%. Hal tersebut disebabkan oleh peningkatan populasi manusia yang selaras dengan peningkatan kebutuhan kendaraan bermotor.
Tak kalah menarik, produksi timbal dari proses daur ulang lebih tinggi daripada hasil penambangan dari alam.
“Ke depannya, timbal harus dapat didaur ulang dengan bijaksana untuk mengurangi dampak pada lingkungan dan sebagai bentuk konservasi sumber daya alam,” ujar Ketua Prodi Teknik Metalurgi ITB tersebut.
Sumber: ITB
Dewasa ini, kata Zulfiadi, proses daur ulang aki bekas secara konvensional masih marak ditengah-tengah masyarakat karena prosesnya yang mudah dan tidak membutuhkan biaya investasi tinggi.
Kegiatan peleburan ini disebut juga Backyard Lead Smelting yang memanfaatkan prinsip peleburan timbal dengan tungku terbuka karena titik lebur timbal relatif rendah dibanding logam lain, yaitu 327,5 °C.
Baca juga: UU Perlindungan Data Pribadi Bisa Perjelas Standar Keamanan Siber
Namun teknologi ini hanya dapat mendaur ulang logam timbal. Sehingga timbal dalam bentuk pasta terbuang yang berarti menurunkan perolehan timbal daur ulang.
Selain hasil daur ulang yang kurang maksimal, nyatanya kegiatan itu menyimpan dampak luar biasa terhadap manusia dan lingkungan. Karena timbal lebih cepat melebur, hal itu mengakibatkan timbal juga mudah berubah menjadi fasa gas.
Timbal dalam bentuk gas yang terhirup oleh manusia dapat mengakibatkan cacat, disfungsi saraf, bahkan kematian. Sedangkan pengolahan aki bekas yang sembarangan dapat mengakibatkan pencemaran air, tanah, dan udara. Larutan elektrolit asam sulfat yang ada dalam aki juga dapat mencemari air dan tanah jika tidak ditangani dengan baik.
Adapun salah satu teknologi bersih yang dapat diterapkan untuk mendaur ulang aki bekas, yaitu Short Rotary Furnace atau Tanur Putar. Proses tersebut diawali dengan preparasi material aki bekas untuk memisahkan bagian-bagian aki sesuai dengan jenisnya.
Selanjutnya, logam timbal akan langsung dilebur dalam tanur, sedangkan timbal pasta dapat diproses melalui tahap desulfurisasi atau penghilangan senyawa sulfur sebelum dilebur.
“Kunci dari proses daur ulang logam adalah tahap pengumpulan bahan bekas pakainya. Sehingga pemerintah perlu membuat sebuah kebijakan yang mengatur hal ini untuk mempermudah daur ulang dan dapat mengurangi bahayanya terhadap lingkungan,” ungkap Zulfiadi.
Baca juga: Rektor Unhas: 2.045 Alumni Unhas Akan Ikut Wisuda Virtual
Disebut teknologi bersih karena hasil samping proses, seperti debu, terak, dan gas dapat ditekan kandungan timbalnya meski dapat juga diolah lebih lanjut sehingga aman untuk dibuang.
“Terak hasil peleburan mengandung sekitar 1% timbal. Meskipun sedikit, KLHK perlu memerhatikan ini agar limbah aman untuk dimanfaatkan lebih lanjut atau dibuang ke lingkungan,” imbuhnya.
Selain itu, keamanan pekerja juga diperhatikan dengan pemasangan hood sebagai alat untuk menyerap gas timbal yang dihasilkan selama proses peleburan.
Di samping teknologi peleburan, teknologi daur ulang timbal dengan proses hidrometalurgi (melarutkan senyawa dalam larutan untuk mendapat logam tertentu) juga terus dikembangkan.
Hal ini didasari oleh tidak dihasilkannya emisi gas, debu, dan terak sebagai limbah prosesnya. Akan tetapi teknologi ini masih menghadapi beberapa tantangan, di antaranya tingginya operasi untuk pengambilan kembali logam timbal dari larutan melalui proses electrowinning. Selain itu, limbah larutan sisa proses membutuhkan penanganan yang baik.
“Tujuan utama dari proses daur ulang timbal, yaitu memanfaatkan teknologi dengan maksimal untuk dapat meminimalkan dampak negatif yang ditimbulkannya,” pungkasnya.
Tinggalkan Komentar