Cari

Merdeka Belajar SMK 

Para siswa SMKN 2 Subang, Jawa Barat mengikuti pameran untuk memperlihatkan keahlian yang mereka miliki di bidang pertanian, Foto: Yenny Hardiyanti/SM

 

Melimpahnya usia angkatan kerja di Indonesia sebagai bonus demografi bila dididik dan dilatih dengan benar seharusnya menjadi aset negara. Mereka dapat mengisi berbagai lowongan tenaga kerja di dunia usaha/dunia industri baik di dalam maupun di luar negeri. Namun kenyataan yang ada jauh dari harapan. Menurut BPS pada Agustus 2019 tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada penduduk berpendidikan SMK mencapai 10,42 %

 

Permasalahan SMK

Permasalahan lulusan SMK tak lepas dengan latar belakang pendirian SMK, sistem penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan SMK di Indonesia. Sejarah pendirian SMK sejak orde baru terdapat 2 fase, yaitu pendirian SMK sebelum otonomi daerah dan pendirian SMK setelah otonomi daerah.

Pertama, pendirian SMK sebelum OTDA (Otonomi Daerah), SMK didirikan oleh Direktorat Pembina SMK, sebelumnya dikenal dengan Dikmenjur. Dikmenjur menyiapkan SMK sangat bagus, meliputi penyiapan sarana dan prasaranan/ peralatan praktek dan bahan pendukung pembelajaran semua terstandar. 

Penyiapan Kepala Sekolah melalui program Talent scoting, guru kejuruan (vokasional) disiapkan oleh Kemendikbud bekerjasama dengan IKIP Padang dan IKIP Yogyakarta dan FPTK IKIP-IKIP lainnya melalui Program Tunjangan Ikatan Dinas (TID), Politeknik mekanik Swiss ITB yang menghasilkan guru-guru produktif yang andal. 

Kedua, pendirian SMK saat OTDA. Pada fase ini, dinas pendidikan kabupaten/kota umumnya “kurang siap” dalam pendirian SMK. Penyiapan sarana dan prasaranan/ peralatan praktek dan bahan pendukung pembelajaran untuk SMK Negeri menjadi tugas dan tanggungjawab pemerintah daerah, sedangkan untuk SMK swasta dilakukan oleh yayasan penyelenggara. 

Sayangnya, saat pendirian SMK di era OTDA kesiapan sarana dan prasarana serta peralatan praktek pendukung kompetensi keahlian yang sesuai dengan standar sarana dan prasarana tidak menjadi syarat utama diterbitkan ijin pendirian SMK. 

Menurut data pokok Kemendikbud tahun 2018, jumlah SMK sebanyak 14.327 terdiri dari 3.624 SMK negeri dan 10.703 SMK swasta dengan jumlah peserta didiknya adalah 5.020.290. 

 

Baca juga: 7 Tips Perjalanan Aman di Tengah Meluasnya Virus Corona


Sekolah Gratis

Sekolah gratis bagi peserta didik SMK sering menjadi komoditas politik Pemilihan Kepala Daerah, dengan pemberian bantuan pembiayaan pada satuan pendidikan tidak berdasarkan standar pembiayaan. Dalam Spektrum Keahlian Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)/Madarasyah Aliah Kejuruan (MAK) terdapat 149 (seratus empat puluh sembilan) kompetensi keahlian. 

Ini berarti terdapat 149 varian standar biaya yang berbeda pada kompetensi keahlian di SMK, sementara bantuan pembiayaan nonpersonal baik Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari pemerintah pusat dan Bantuan Operasional Sekolah Daerah (BOS Daerah) tidak berdasarkan perhitungan kebutuhan biaya per peserta didik pada setiap kompetensi keahlian dalam satu tahun. 

 

Esensi  SMK

Sistem akreditasi yang dilaksanakan Badan Akreditasi sebagai alat potret untuk melihat kualitas mutu SMK belum dapat dijadikan tolok ukur mutu SMK. Karena, instrumen akreditasi lebih mengarah pada penilaian dokumen portopolio delapan standar pendidikan. Kondisi ini kurang menekankan pada Standar Sarana dan Prasarana serta Peralatan Praktek sebagai esensi SMK. 

Bahwa  esensi SMK adalah satuan pendidikan yang lebih menitikberatkan pada kelengkapan peralatan pendukung praktek kompetensi keahlian dengan rasio jumlah peserta didik, kelengkapan laboratorium dan pelaksanaan praktikumnya, relevansi Institusi Pasangan (IP) tempat Praktek Kerja Lapangan (PKL) dengan Kompetensi Keahlian yang di bina oleh SMK. Kemudian, tingkat relevansi pelaksanaan PKL kompetensi peserta didik (match) dengan kompetensi industri, tingkat keterserapan lulusan SMK di dunia Usaha/Industri. 

Seharusnya esensi karakteristik ke-SMK-an yang dipaparkan di atas mempunyai bobot yang paling besar dalam penentu kualitas SMK.

Pembelajaran di SMK saat ini masih mengedepankan pada aspek pengetahuan dan terjebak pada tingkat Low Order Thinking Skills (LOTs) untuk mengukur kemampuan peserta didik. Ini masih terfokus pada aspek pengetahuan gradasi mengingat (C1) dan pemahaman (C2) dan penerapan (C3) mekanistis. 

 

Baca juga: Presdir PT P&G Indonesia Bocorkan Rahasia Sukses Kelola Bisnis

 

Kemudian, masih minim sekali pembelajaran mengarah pada tingkat Higer Order Thinking Skills (HOTs), menganalisis mengevaluasi dan mencipta dimensi pengetahuan metakognitf, sehingga lulusan SMK saat ini relatif kurang mampu memecahkan persoalan-persoalan kehidupan sehari-hari berkaitan dengan kompetensi Keahlian yang dimilikinya. 

Pembelajaran muatan nasional dan muatan kewilayahan yang diharapkan dapat menanamkan sikap (menerima, menanggapi, menghargai, menghayati dan mengamalkan) karakter (Spiritual, nasionalis, mandiri, integritas, gotong royong) peserta didik saat ini tolok ukurnya dalam “kenyataan” walau ditekankan pada penilaian sikap. 

Kenyataan penilaiannya masih mengutamakan penilaian pengetahuan baik penilaian tertulis, lisan maupun penugasan, sehingga apapun domain aspek pembelajarannya, penilaian “pengetahuan” adalah alat ukurnya.
 
Pembelajaran pada kompetensi dasar pada aspek Keterampilan (imitasi, manipulasi, presisi, artikulasi dan naturasisi) yang tak lepas pada kesiapan peralatan dan bahan, diduga karena kurangnya peralatan dan bahan untuk mencapai Kompetensi Dasar aspek Keterampilan. 

Sering satuan pendidikan memodifikasi kompetensi yang seharusnya dicapai dengan dukungan peralatan dan bahan, namun menjadi pembelajaran aspek “pengetahuan modifikasi”, sehingga Kompetensi Dasar yang seharusnya menjadikan peserta didik terampil membuat sesuatu atau mengerjakan sesuatu, menjadikan peserta didik sekadar mengetahui atau memahami bagaimana membuat sesuatu dan bagaimana mengerjakan sesuatu. Pembelajaran yang demikian tidak bermakna dan cepat dilupakan. 

Pembelajaran bahasa Inggris di SMK juga mengalami masalah, selama tiga tahun peserta didik belajar bahasa Inggris namun kenyataanya lulusan SMK tetap tidak bisa berkomunikasi dengan bahasa Inggris.

 

Kegiatan para siswa SMK Raden Umar Said (RUS), Kudus, saat membuat digital animasi, Sumber: SMK RUS

 

Kebebasan Berpikir Guru 

Konsep Merdeka Belajar menurut Mas Nadiem Makarim adalah “Kebebasan Berpikir Guru”, yang dikenal dengan empat kebijakan (1) USBN diganti ujian (asesmen), (2) UN diubah menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter, (3) RPP dipersingkat  berisi tujuan pembelajaran, kegiatan pembelajaran dan asesmen, (4) PPDB lebih fleksibel untuk mengakomodasi ketimpangan akses dan kualitas di berbagai daerah.

Gagasan Merdeka Belajar perlu diberikan arah dan pedoman, bagaimana bentuk merdeka belajar tersebut dan bagaimana melaksanakannya. Khusus SMK tentunya berdasarkan kajian tentang permasalahan-permasalahan sesuai karakteristik SMK yang telah di paparkan di atas.

 

8 Standar Pendidikan
 
Dalam Pelaksanaan Merdeka Belajar harus didukung pemenuhan delapan standar Pendidikan (1) Standar Kelulusan (SKL) yang akan dicapai peserta didik, (2) Standar Isi, Kompetensi apa yang akan dipelajari peserta didik untuk mencapai Standar Kelulusan, (3) Standar Proses, bagaimana Proses Pembelajaran dilakukan, (4) Standar Penilaian, sistem asesmen apa untuk mengukur kompetensi peserta didik. 

Untuk melakukan empat standar tersebut harus didukung oleh (5) Standar sarana dan Prasarana termasuk alat dan bahan praktek, (6) Standar Guru, yaitu guru kompeten yang harus menata komponen-komponen Pembelajaran, (7) Standar Kelembagaan yang mengatur manajemen satuan pendidikan, (8) standar pembiayaan, yaitu Pemenuhan pembiayaan yang mendukung proses pendidikan di SMK. 

Masing-masing standar pendidikan merupakan subsistem Pendidikan yang bekerja serempak dan berkaitan untuk mencapai tujan pendidkan yaitu lulusan SMK yang kompeten sesuai kompetensi yang dipersyaratkan dunia usaha/industri atau berwirausaha.

 

Baca juga: Yuma Soerianto, iOS Developer Cilik Indonesia Bikin Kagum CEO Apple

 

Merdeka Belajar 

Merdeka Belajar yang diajukan penulis berdasarkan arahan Mas Menteri yaitu: ”USBN diganti ujian (asesmen), UN diubah menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter” maka pembelajaran di SMK penilaiannya diarahkan pada asesmen aspek sikap dan aspek keterampilan. Asesmen pengetahuan sebaiknya hanya sebagai pelengkap asesmen sikap dan keterampilan.

Kemudian, pembelajaran pada mata pelajaran kelompok nasional dan kewilayahan diarahkan pada asesmen sikap karakter dan asesmen ketrampilan “abstrak” mengolah, menalar dan menyaji meliputi: (1) Integritas (kesetiaan, anti korupsi, keteladanan, keadilan, menghargai martabat manusia); (2) Religius (melindungi yang kecil dan tersisih, taat beribadah, menjalankan ajaran agama, menjauhi larangan agama;(3) Nasionalis (rela berkorban, taat hukum, unggul , disiplin, berprestasi, cinta damai); (4) Mandiri (tangguh, kerja keras, kreatif, keberanian, pembelajar, daya juang, berwawasan informasi dan teknologi); (5)  Gotong Royong (musyawarah, tolong menolong kerelawanan solidaritas, anti diskriminasi).

Pembelajaran pada mata pelajaran kelompok (C1) mata pelajaran dasar bidang keahlian diarahkan pada daya adaptasi dan prasyarat belajar peserta didik dalam menerapkan Kompetensi Keahlian yang dipelajari dengan penerapan dunia nyata, Kelompok (C2) mata pelajaran program keahlian yang mengatarkan pada dasar-dasar pebelajaran Kompetensi Keahlian. Kelompok mata pelajaran (C3) sebagai kompetensi keahlian spesifik yang harus dikuasai peserta didik  untuk memasuki dunia kerja dan berwirausaha. 

Baik kelompok (C1), (C2) dan (C3) penilaiannya diarahkan pada asesmen unjuk kerja aspek keterampilan (imitasi, manipulasi, presisi, artkulasi dan naturalisasi) dan asesmen sikap afektif yaitu sikap kerja berkaitan dengan yang dipersyaratkan kompetensi keahlian. Pembelajaran Bahasa Inggris dengan pendekatan conversation sangat disarankan. 

Tahun 2018 terdapat sebanyak 5.020.290 peserta didik dalam melaksanakan PKL yang betul-betul sesuai (match) antara kompetensi keahlian peserta didik yang dipelajarai SMK dengan kompetensi kerja industri. Ini sangatlah sulit diwujudkan maka pemberlakuan pembelajaran model teaching factory dengan regulasi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) sebagai dasar hukum pengelolaan keuangan dalam implementasinya sangat diperlukan.

Menyikapi sekolah gratis, seharusnya Presiden menetapkan standar biaya operasi nonpersonalia setiap jenjang pada satuan pendidikan yang berlaku secara nasional dan diindeks sesuai tingkat kemahalan daerah masing-masing Provinsi/Kota dan Kabupaten. 

Standar biaya ini dijadikan dasar pemberian bantuan sekolah gratis dalam pemenuhan biaya satuan pendidikan. Diharapkan, pemerintah daerah yang memberlakukan sekolah gratis adalah pemerintah daerah yang betul-betul mampu memberikan pemenuhan pembiayaan satuan pendidikan sesuai standar biaya yang berlaku secara nasional.

 

Oleh:

Dr. Teguh Wahyudi, M.Pd
Instruktur Nasional Kurikuum 2014 sd 2018
Anggota Dewan Pandidikan Provinsi Jawa Barat 2019 sd 2024

Artikel Selanjutnya
Terapi Durian 
Artikel Sebelumnya
5 Manfaat Tak Terduga Membaca Novel Fiksi Menurut Ahli

Artikel Lainnya:

Comments ()

Tinggalkan Komentar