Schoolmedia Jakarta ---- Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) dengan Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI), Abdul Kadir Karding terkait sinergitas dalam rangka pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak bagi pekerja migran Indonesia dan keluarganya.
"Pertemuan hari ini menjadi bukti bahwa semangat kebersamaan dalam melindungi hak perempuan dan anak semakin kuat. Kita harus memperkuat ketahanan keluarga pekerja migran serta membuka peluang bagi mereka untuk bekerja dan berkembang lebih baik, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Kerja sama ini merupakan komitmen nyata pemerintah dalam memberdayakan perempuan dan melindungi anak-anak, termasuk mereka yang menjadi bagian dari pekerja migran di luar negeri,â ujar Menteri PPPA.
Salah satu titik lemah yang membuat tantangan untuk penyusunan kebijakan perlindungan pekerja migran Indonesia yang paripurna adalah keterbatasan data mengenai profil demografis maupun arus mobilitas pekerja migran Indonesia.
Hingga saat ini, belum ada sistem pendataan yang permanen tentang mobilitas pekerja migran Indonesia yang bisa menjadi acuan resmi dan referensi dalam penyusunan kebijakan tentang tata kelola migrasi pekerja Indonesia ke luar negeri.
Tiga kementerian dan lembaga negara seperti Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Luar Negeri dan BNP2TKI memiliki data yang berbeda-beda mengenai mobilitas pekerja migran Indonesia. Sementara itu Bank Indonesia juga memiliki data terkait pekerja migran Indonesia dalam penghitungan regular penerimaan remitansi dari mereka setiap tiga bulanan.
Menteri PPPA mengatakan perempuan pekerja migran Indonesia memiliki peran luar biasa dalam menggerakkan perekonomian keluarga dan berkontribusi besar bagi negara. Namun, mereka juga menghadapi tantangan berat, seperti ketidakpastian hukum, kekerasan berbasis gender, hingga dampak sosial terhadap anak-anak yang mereka tinggalkan. Oleh karena itu, sinergi lintas sektor menjadi kunci utama dalam menghadirkan solusi yang menyeluruh.
Melalui MoU ini, pemerintah berharap dapat mempererat koordinasi dan mengoptimalkan program pemberdayaan ekonomi bagi pekerja migran Indonesia serta keluarganya. Selain itu, kerja sama ini juga bertujuan untuk memperluas akses pendidikan dan perlindungan bagi anak-anak mereka.
"Mekanisme perlindungan yang responsif sangat penting untuk menjaga kesejahteraan perempuan dan anak-anak pekerja migran Indonesia. Kita harus memastikan bahwa setiap pekerja migran dan keluarganya mendapatkan akses yang lebih baik terhadap hak-haknya, termasuk perlindungan hukum, pendidikan, serta pemberdayaan ekonomi," kata Menteri PPPA.
Melalui kerja sama ini, pemerintah berkomitmen untuk memperkuat mekanisme perlindungan yang lebih responsif dan berorientasi pada kesejahteraan perempuan dan anak. Dengan adanya kebijakan yang lebih baik, diharapkan para pekerja migran dan keluarganya dapat merasakan manfaat secara nyata dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Menteri PPPA memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam upaya ini. Semoga kerja sama ini menjadi langkah nyata yang membawa perubahan positif bagi perempuan dan anak-anak pekerja migran Indonesia.
"Mari kita terus melangkah bersama, memperkuat komitmen, dan memastikan setiap perempuan dan anak pekerja migran mendapatkan hak-hak yang layak serta perlindungan yang maksimal serta menciptakan masa depan yang lebih aman, adil, dan sejahtera bagi perempuan dan anak-anak Indonesia di mana pun mereka berada," pungkas Menteri PPPA.
Sementara itu, Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI), Abdul Kadir Karding menegaskan akan terus memperkuat kerja sama dengan berbagai pihak dalam memastikan perlindungan bagi perempuan dan anak, khususnya bagi pekerja migran Indonesia.
Salah satu fokus utama adalah memastikan bahwa penempatan pekerja migran Indonesia, terutama perempuan, dilakukan dengan sistem yang lebih aman dan terstruktur. Hal ini mencakup penyediaan kontrak kerja yang jelas, jaminan perlindungan, serta pendampingan bagi mereka sebelum, selama, dan setelah bekerja di luar negeri. Selain itu, ia menekankan pentingnya pendidikan bagi anak-anak pekerja migran Indonesia agar mereka tidak tertinggal dan tetap memiliki akses terhadap masa depan yang lebih baik.
Upaya meningkatkan kesejahteraan perempuan dan anak, kami juga menggandeng berbagai lembaga pendidikan dan komunitas untuk mengadakan pelatihan keterampilan yang dapat membantu perempuan pekerja migran Indonesia agar lebih mandiri secara ekonomi. Selain itu, program pemberdayaan perempuan juga diarahkan agar mereka memiliki kesempatan untuk berkembang di dalam negeri, tanpa harus bergantung pada pekerjaan di luar negeri.
"Kolaborasi dengan kementerian dan lembaga menjadi langkah penting dalam membangun sistem satu pintu yang lebih efektif dalam pengelolaan data dan pemantauan kondisi pekerja migran Indonesia. Dengan sinergi ini, diharapkan angka kasus eksploitasi dan pelanggaran hak terhadap perempuan dan anak dapat terus berkurang secara signifikan,â ujar Abdul Kadir Karding.
Kondisi Anak Pekerja Migran
Dalam fenomena migrasi pekerja Indonesia ke luar negeri, setidaknya ada tiga situasi yang dihadapi oleh anak-anak pekerja migran Indonesia. Pertama, berada di kampung halaman sebagai anak yang ditinggalkan atau tinggal bersama orang tuanya yang bekerja di luar negeri.
Dihadap kan pada fenomena feminisasi pekerja migran dan masih kukuhnya konstruksi budaya patriarkis di Indonesia, maka dalam perbincangan publik muncul stigma yang ditudingkan kepada pekerja migran perempuan yang diang gap tidak melakukan fungsi pengasuhan anak yang diting galkannya Stigma juga mendominasi cara pandang pemerintah dan sebagian elemen masyarakat sipil yang mengintervensi situasi anak-anak yang ditinggalkan.
Termasuk di kalangan media dan akademisi dalam produk jurnalistik dan analisis akademis yang dilakukan. Intervensi kebijakan yang dilakukan sama sekali tidak membongkar konstruksi patriarkis mengenai pola pengasuhan yang sepenuhnya membebankan perempuan dan membebastugaskan laki-laki dari kewajiban pengasuhan.
Cara pandang ini yang kemudian berkembang dan mempengaruhi pola substansi dalam pembuatan kebijakan. (Aktivitas anak pekerja migran di sekolah perbatasan. Dokumentasi: Migrant CARE) Kedua, situasi anak-anak pekerja migran Indonesia yang tinggal bersama orang tuanya. Situasi ini banyak ditemui di wilayah Malaysia Timur.
Menurut prediksi KBRI Kuala Lumpur dan KJRI Kota Kinabalu, jumlah anak pekerja migran mencapai sekitar 100.000 orang. Kerentanan yang dihadapi adalah status mereka yang tidak berkewarganegaraan (stateless), atau mengikuti status orang tuanya yang sudah lama tidak memperbarui dokumen kewarganegaraan.
Status tanpa kewarganegaraan juga dialami oleh anak-anak pekerja migran Indonesia yang tidak mencatatkan perkawinannya dalam sistem hukum Indonesia. Ketiga, situasi anak pekerja migran Indonesia yang dilahirkan akibat perkosaan dan kehamilan yang tidak diinginkan lainnya. Kebanyakan ibu dari anak-anak ini adalah pekerja migran yang bekerja di Timur Tengah dan ketika pulang ke tanah air membawa serta anaknya atau janinnya. Kerentanan yang dihadapi mereka adalah berstatus tanpa kewarganega raan karena tidak memiliki akta nikah dan selalu dalam stigma negative sebagai anak yang lahir di luar pernikahan.
Untuk merespons ketiga situasi di atas, dibutuhkan pendekatan dan intervensi kebijakan yang berbeda-beda. Namun ketiga situasi tersebut sama-sama membutuhkan terobosan kebijakan yang benar-benar mengacu pada kepentingan terbaik bagi anak seperti yang ada dalam Konvensi Hak Anak serta mencerminkan prinsip no one left behind yang menjadi haluan Sustainable Development Goals (SDGs).
Di dalam SDGs pula terkandung goal dan tujuan yang bisa menjadi landasan bagi berbagai pihak untuk memberikan perlindungan pada anak pekerja migran seperti dalam Goal 5 (khususnya di target 5.1, 5.2 dan 5.3), Goal 8 (khususnya di target 8.7 dan 8.8), serta Goal 16 (khususnya di target 16.1, 16.2 dan 16.9)
Tim Schoolmedia
Tinggalkan Komentar