Ilustrasi guru, Ilus: Pixabay
Seorang guru honorer di pedalaman Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, meminta perhatian pemerintah setempat karena honor yang diterima hanya Rp 500 ribu per bulan. Penghasilan ini membuatnya kesulitan membiayai keluarga.
"Dengan gaji Rp 500 ribu per bulan, sangat susah untuk bertahan hidup karena harga barang di pedalaman mahal. Gas elpiji 3 kilogram saja Rp 85 ribu per tabung," kata Andrea Irawan, guru honorer di SMPN 3 Antang Kalang, Senin, 11 Februari 2019.
Sekolah tempat Andrea mengajar terletak di Desa Tumbang Hejan Kecamatan Antang Kalang, dekat perbatasan Kabupaten Katingan.
Saat dihubungi dari Sampit, Senin, Andrea Irawan asal Bagendang itu menjelaskan, ia memutuskan meninggalkan hiruk-pikuk kota dan memilih mengabdi sebagai guru di wilayah yang masih terisolasi jalan darat. Ia pun memboyong keluarganya ke tempat tugasnya tersebut.
Baca juga: 76 Guru Garis Depan Resmi Jadi ASN di Sulsel
Waktu tempuh yang ia perlukan dari Sampit, Ibu Kota Kabupaten Kotawaringin Timur untuk mencapai sekolah tersebut sekitar 14 jam. Dari Sampit, ia harus menempuh perjalanan darat sekitar tujuh jam mencapai kecamatan itu dengan biaya Rp 200 ribu per penumpang. Kemudian, ia melanjutkan perjalanannya dengan menggunakan transportasi sungai selama tujuh jam. Belum lagi, ia harus mengeluarkan biaya sewa kelotok atau perahu sekali jalan.
Andrea mengatakan, gaji Rp 500 ribu per bulan itu dialokasikan melalui bantuan operasional sekolah (BOS). Ia berharap gajinya bisa setara dengan upah minimun kabupaten (UMK) Kotawaringin Timur yang saat ini sudah Rp 2.757.300 per bulan.
Penghasilan yang sangat kecil itu membuat Andrea dan rekan-rekannya kesulitan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Apalagi, untuk pergi ke ibu kota kecamatan saja, gaji itu tidak cukup untuk biaya transportasi.
"Untuk memenuhi kebutuhan dapur, kami terkadang mencari ikan dan sayur yang masih mudah didapat di desa itu. Kondisi itulah yang diduga membuat tidak ada orang yang berminat menjadi guru di sekolah itu," kata Andrea.
Sekolah tempat Andrea mengajar dibangun pada 2008 atas kerja sama pemerintah Indonesia dan Australia. Sekolah tersebut hanya memiliki lima orang tenaga pendidik, yakni satu orang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) yaitu sang kepala sekolah, satu orang tenaga kontrak dan tiga orang honorer, termasuk Andrea. Mereka harus mengajar banyak mata pelajaran, termasuk kepala sekolah juga ikut mengajar.
"Besar harapan kami suatu saat mendapat perhatian pemerintah daerah agar diangkat menjadi tenaga kontrak daerah agar bisa menunjang kelancaran proses pendidikan di sini," kata Andrea berharap.
Andrea menjelaskan, fasilitas yang dimiliki sekolah ini juga sangat terbatas.
"Jangankan berpikir memiliki komputer, laptop atau gadget, listrik pun belum ada. Bahkan, banyak anak-anak di desa yang belum pernah menginjakkan kaki di desa lain, apalagi ke Sampit ibu kota kabupaten," ujar Andrea mengungkapkan.
Andrea mengaku sudah bertekad mengabdi dan berusaha membantu anak-anak di desa yang terisolasi itu untuk mendapatkan pendidikan, meski dengan berbagai kekurangan. Ia berharap, kondisi fasilitas pendidikan, anak didik serta nasib para guru di sekolah itu menjadi perhatian pemerintah pusat dan daerah.
Baca juga: Atasi Persoalan Guru, DPR: Perlu Sistem Perencanaan Guru Terintegrasi Berbasis Digital
"Kami tidak ingin generasi penerus Kotawaringin Timur kami jadi kuli di daerahnya sendiri," ujar Andrea.
Kepala Dinas Pendidikan Kotawaringin Timur Suparmadi mengatakan, masalah ini menjadi perhatian pemerintah daerah. Upaya peningkatan kesejahteraan guru honorer sudah masuk dalam program Dinas Pendidikan dan dilaksanakan bertahap.
"Menyesuaikan dengan ketersediaan anggaran. Rencananya bukan honorer sekolah di pedalaman saja, tetapi juga semua honorer sekolah yang dibiayai dari dana BOS. Dan yang sekarang dapat tunjangan khusus adalah mereka yang bertugas di daerah sangat terpencil," kata Suparmadi.
Tinggalkan Komentar